Thursday, February 01, 2007

Tugimin dan Kamera Tua


“Anak saya kuliah sarjana hukum di Purwokerto mas”, kata Tugimin (50) membuka cerita. Bapak beranak lima yang tinggal di Kota Lahat ini berprofesi sebagai fotografer keliling. Ia menekuninya sejak 10 tahun terakhir. Saat sepi order ia menjadi kuli bangunan atau mburuh mencangkul di ladang orang.

Aslinya ia orang Brebes. Sejak kecil Tugimin dibawa orang tuanya transmigrasi ke Lahat, Sumatera Selatan. Namun, ia dan keluarganya bukan golongan transmigran yang sukses. Sampai-sampai Tugimin tak tamat sekolah dasar. Ia hanya dapat baca dan menulis sebisanya. Tidak indah tetapi perlu pelan-pelan untuk membacanya, karena semrawut.

Hidup susah, sudah suratan hidup. Namun, semangat membumi di benaknya. Doanya tak putus-putus agar anak cucu tak mewarisi kegetirannya. Dambaan setiap orang susah yang punya semangat merubah nasib. Kepiawaian memotret dengan kamera Nikon tua, ia pelajari secara otodidak. Hasilnya ia dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat SMA.

Bertutur putranya yang calon sarjana hukum, Tugimin amat semangat. Juga kadang terlihat sedih. Anak pertamanya itu hanya mampu ia biayai sampai SMA. Untuk biaya kuliah Tugimin mengaku pasrah.

“Kadang, sama istri sebelum tidur saya suka ngomongin Santoso. Oalah nak, kamu punya tekad sekolah tinggi tapi bapak nggak mampu biayai. Kamu tinggal di mana, makan apa, terus biaya kuliahmu dari mana. Hancur rasanya hati saya”, kata tugimin berkaca-kaca.

Tetapi Santoso memang setegar namanya. Putra Tugimin bukan pecundang yang menyerah pada kemiskinan. Kesulitan hidup malah melecut Santoso untuk segera merampungkan gelar sarjananya. Esok ia cepat bekerja dan kembali ke Lahat menjawab doa-doa orang tuanya.

Dituturkan Tugimin. Santoso di Purwokerto kini tinggal di Masjid sebagai marbot. Lumayan, menghemat biaya tanpa perlu mencari biaya untuk bayar kos. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Santoso selalu ringan tangan membantu orang. Dari macul di sawah sampai motong rumput dilakoni.

Suatu ketika, Tugimin menengok putranya itu. Dicari di masjid tempatnya tinggal tidak ada. Ternyata Santoso sedang keluar masuk kampung mencari dagangan. Dengan keranjang di sepeda pancal, Santoso membeli aneka macam buah-buahan dari rumah-rumah warga untuk dijual lagi ke pasar. Lumayan, hasilnya bisa buat tambah biaya kuliah.

“Sabar ya San. Maapin bapak sama emak tidak bisa bantu kuliah kamu. Adik-adikmu biaya sekolahnya juga mulai tambah besar. Obyekan foto sekarang juga tidak ramai lagi, apalagi kamera bapak sudah tua, kalah sama yang digital. Kamu yang sabar, bapak cuma bisa kirim doa”, pesan Tugiman pada putranya.

“Santoso nggak marah sama bapak dan emak. Jangan pikirin saya, doa saja sudah cukup. Insya Allah tinggal skripsi pak, sebentar lagi Santoso lulus jadi sarjana hukum. Bapak sama emak bangga to?” jawab santoso yang dibalas anggukan Tugimin.

Bagi Tugimin, punya anak mandiri dan sholeh sudah anugerah yang luar biasa. Ia berencana, kamera tuanya tidak akan dijual sebelum dapat mengabadikan wisuda Sarjana Hukum Santoso.

“Kamera ini saya beli dengan cucuran keringat mas. Kamera ini tidak hanya mengabadikan sejarah orang, tetapi juga menjadi cacatan sejarah pahit getir keluarga dan anak-anak saya. Bersyukurlah mas tidak sampai mengalami nasib segetir Santoso”, kata Tugimin yakin.

Saya hanya mesem kecut. “Kang Tugimin ini bisa aja. Saya dari SMP sampai kuliah merampungkan pendidikan dengan biaya dari kerja mbabu di Surabaya dan Jakarta kok kang. Kita sama-sama orang susah”, jawab saya sembari merangkul pundaknya. Tugimin pun kaget. “Oo…”.

No comments: