Saturday, March 15, 2008

Siapa Kita?

Oleh: Erie Sudewo

Tahun 70-an, muncul buku berjudul Manusia Hipokrit. Judul yang merupakan kesimpulan ini jelas berani. Bukan dipaksa dan tak pula gegabah. Karena ada kredibilitas dan integritas di baliknya. Ada tanggung jawab yang musti diusung. Mochtar Lubis sang penulis, tentu tak asal menyimpulkan. Seorang wartawan sekaligus sastrawan, yang karakternya tak bisa disungkur dengan bayonet. Juga tak bisa dibungkam dengan setumpuk uang. Jika harus mendekam di bui, itulah jalan yang dipilih.


Tabiat negatif tahun 70-an tentu tak sekasat mata saat ini. Perilaku destruktif juga belum terlanjur memasal. Tamsil ‘ada asap pasti ada apinya’, agaknya pas menggambarkan kejelian Mochtar Lubis. Setipis apapun asap, sependar apapun apinya, tetap punya makna bagi Mochtar. Sebab baranya justru digenggam sebagian policy maker. Bara di tangan rakyat jelata, hanya merusak tangan sendiri. Tapi di lengan pejabat, bisa memanggang bangsa ini.

MAW Brouwer, seorang pastoral, juga mengungkap keresahan yang sama. Dalam banyak tulisan, MAW Brouwer menyisik manusia Indonesia dari sisi psikologis. Namun apapun yang ditulis MAW Brouwer dan Mochtar Lubis atau para budayawan dan kritikus, semua tertumbur kesia-siaan. Wabah hipokrit terus melaksa, bermimikri sesuai sikon. Yang menjabat, ingin langgeng. Yang punya kekuasaan, tak mau muspro. Yang keenakkan difasilitasi, terus perdayai agar fasilitas tetap tergenggam. Yang miskin jadi pejabat, malah balas dendam. Bosan miskin maka apapun disikat.

Inti hipokrit tak lain dahulukan kepentingan sendiri. Bicara nasionalime, kini bukan zamannya. Bicara kebangsaan, pasti terlecehkan sebagai pahlawan kemalaman. Yang bicara ibu pertiwi, ibu yang mana? Tanah airku, tanah tumpah darahku, kini tinggal di lagu-lagu perjuangan ‘tempo doeloe’. Kita paham Barack Obama dan Hilarry Clinton. Tapi sungguh siapa Wiranto dan Megawati, sebagian tak paham prestasi apa yang telah mereka ukir saat menjabat dulu.

Kini kita lihat kebiasaan kita sehari-hari. Usai tidur kita gosok gigi. Lihat produk apa yang digunakan: Pepsodent, Colgate atau Close Up? Siapa pemilik merk-merk itu. Dulu ada produk nasional dari Surabaya, Siwak namanya. Tapi kini juga sudah diakuisisi PMA. Saat mandi, kita bilas dengan Lux, Lifeboy, Camay atau Dove? Rambut dikeramas dengan Sunsilk, Rejoice atau Pantene? Usai mandi, semoga kita masih gunakan handuk made in Tasikmalaya. Bila gunakan handuk Palmer maka untuk urusan mandi, seluruhnya ditangani PMA. Jangan-jangan kloset dan shower yang kita gunakan pun import. Air hangat pun dari Wika, bukan Solahart.

Sambil bersiul kita kenakan pakaian dalam. Merknya jangan-jangan Jordan atau Hanes. Lagi-lagi import. Kenakan kemeja Hugo Boss jelas keren. Dipatutkan dengan celana Nautica, gaya pun makin dendy. Tak lupa semprotan pewangi. Ada Aigner, Polo atau Versache. Kaos kaki Mark Spencer tentu makin pas dengan sepatu Lacoste. Jam tangan bisa Patek Phillip, Rolex atau Omega.

Breakfast bolehlah dengan sereal. Bubur kacang hijau, eh apa itu. Bila masih roti, semoga masih Lauw atau Tan Ek Tjoan. Jika berganti Sari Roti atau Sara Lee, itu PMA. Sebagai penghangat tentu seduhan capucino makin pas. Seperti saat santai di Starbuck atau Oh La La. Atau kalau tak mau hangat, ada juice atau yoghurt dari Malaysia dan Thailand.

Saat ke kantor, semoga masih Kijang atau Panther yang rakitan lokal. Tetapi ada Yaris, Swift, Harier dan CRV. Yang lain Mercy, BMW, Jaguar atau Lamborghini. Sampai di kantor, entah merk meja dan kursi yang diduduki. Yang pasti PC maupun laptop, bisa Lenovo, Toshiba, IBM atau Apple. Saat makan siang, kita berharap masih suka pecel Madiun. Jika Paregu atau Sizler, gaya kita makin jauh dari akar sejarah. Sementara Mc Donald, KFC dan AW sudah merangsek kemanapun.

Saat pulang, kita buka kulkas merk Sharp. Kita ambil Coca Cola dan seuntai anggur Australia. Sambil menyeruput dinginnya softdrink, kesejukan AC Mitsubishi mulai menerpa. Audio Blaupunk kita on-kan. CD Beeges mulai melantun I Started a Joke. Sambil merebahkan kepala, semua terasa nikmat. Padahal lagu Beeges itu jadi gugatan. Lelucon apa yang sesungguhnya tengah kita jalani.

Dari bangun tidur hingga mau tidur, kulit sawo matang ini gunakan produk yang 90% asing. Makin sering gesek kartu kredit, makin sedikit sentuhannya dengan pedagang kecil. Makin kaya, agaknya makin sedikit kontribusi pada ekonomi rakyat Hipokrit, ah itu istilah silam. Sekarang zamannya globalisasi. Semua musti profesional. Ada kompetisi yang tak bisa dicegah. Jika harus kerja sama dengan asing, lumrahlah. Jika harus serahkan asset negara, ya mau bagaimana lagi. Siapa diri kita? Ah bagaimana besok sajalah.

No comments: