Thursday, March 01, 2007

Kutipan itu Korupsi Menyakitkan


Pasar dan jalanan menjadi ladang subur praktik korupsi yang terbuka di depan publik. Lantaran didiamkan ia telah menjadi bagian dari budaya. Sopan, ramah, dan korup.

Transparency International Indonesia (TII) barusan melansir hasil survei tentang pengusaha dan korupsi. Dari survei yang dilakukan pada 1.760 pengusaha di Indonesia itu, salah satu poinnya adalah, pengusaha cenderung memilih bisnisnya tetap berjalan meski ada konsekuensi uang. Malah, sebagaimana kita mafhum, pengusaha Asia dan Afrika cenderung permisif dalam kasus korupsi dan suap.

Namun, dalam tulisan Koran Tempo (Rabu/28/2), berjudul “Survai: Suap di Pengadilan Karena Diminta” yang membahas hasil survai TII pada paragraf delapan ditulis; Sedangkan yang setuju beralasan, suap untuk berterima kasih karena sudah ditolong, agar izin usaha lancar, hal yang lumrah, gaji pegawai yang rendah, dan sebagai sumbangan/zakat.

Munculnya kata “zakat” dalam tulisan ini perlu diluruskan bahwa antara zakat dengan suap ibarat langit dan bumi. Suap perbuatan haram yang dilakukan orang-orang untuk mencari selamat dunia. Sementara zakat, memenuhi kewajibannya sebagai muslim. Ia menjadi sah sebagai zakat jika dikeluarkan dari harta yang halal. Bukan harta kotor, hasil korupsi, apalagi hasil suap itu sendiri.

Terlepas dari itu, hasil survai ini seakan menemukan kebenarannya tatkala kita tengok realita lebih ke akar. Yakni di kalangan pedagang asongan dan kaki lima. Bahwa korupsi tidak hanya akut di kalangan elit dan pengusaha besar. Korupsi sudah membudaya hingga antar orang miskin dengan orang miskin.

Pedagang kaki lima yang saban hari kita temui itu, telah menjadi lahan subur kutipan tak halal sebagian orang. Pengutip itu datang dari pegawai rendah tingkat desa, preman, hingga aparat keamanan. Lantas mengapa pedagang kecil tetap melayani kutipan itu? Jawabnya sama dengan kelas pengusaha besar. Yakni, agar usahanya tetap berjalan meski harus ada konsekuensi uang.

Adalah Zulfansyah (36), pedagang kopi yang punyai kedai kecil di bilangan terminal Kampungrambutan berbagi kisah. Sebulan lalu, kedainya terkena gusur dua meter. Masih ada sisa untuk bertahan. Sayang celah itu dimanfaatkan Trantib untuk memeras Zul. Setelah negosiasi alot, Zul terpaksa menggelontorkan sogokan Rp 1,5 juta. Meski harus mecari pinjaman Zul terpaksa memenuhi permintaan itu demi menjaga ladang rezekinya tetap menghasilkan nafkah.

Sebagai pedagang yang hidup di jalanan, praktik korup yang mencekik pedagang kecil sudah menjadi wajah asli dunia jalanan. Saban hari Zulfansyah melihat bagaimana uang kutipan dibagi di antara mereka. Sembari tertawa terbahak, sumringah, dan menyebalkan.

“Untuk mengumpulkan Rp 20 ribu sehari saja kami harus begadang di jalanan 24 jam. Mereka yang tinggal kutip seperti tak punya dosa. Saya lihat selesai bagi-bagi uang kutipan itu mereka pulang ke anak bininya. Apa jadinya nafkah kotor seperti itu, kalau kutipan ini diberikan pada negara masih mending. Ikhlas saya, tapi kalau untuk kepentingan mereka pribadi saya nggak ridho dunia akhirat. Tapi mau apalagi, kalau tak dikasih kami diusir dari sini. Repot hidup di negeri ini”, tutur Zulfansyah meradang.

Rendahnya gaji dan terjepit beban hidup, kerap dipakai pegawai kecil untuk menghalalkan cara-cara haram itu. Padahal hidup sebagai pedagang asongan juga lebih sulit. Terhimpit kesulitan hidup menjadi alasan mengapa orang berdagang asongan dan menjual jasa di jalanan. Satu alasan sama dengan penyelesaian yang berbeda. Amat memprihatinkan mereka yang dari kalangan pas-pasan telah memakan darah daging saudaranya sendiri.

Mari kita berkenalan dengan Karim (43), pedagang asongan di Pasar Kramatjati, Jakarta Timur yang sudah lebih dari 20 tahun ngasong. Bapak dua anak asal Brebes itu sehari punya keuntungan lebih kurang Rp 15 ribu. Itupun tak tentu. Jangan bertanya bagaimana remuknya raga saat menjajakan dagangan. Karim sudah kebal, meski nasib tetap belum berubah.

Sebulan paling banyak ia hanya mampu kirim uang ke kampung tak lebih dari Rp 300 ribu. Angka itu dicapai setelah ia ngirit habis. Untuk kontrakan satu petak Rp 430 ribu per bulan patungan dengan enam orang. Bahkan Rabu kemarin, Karim dan teman-teman seprofesinya tampak kusut. Apa sebab? Para istri di kampung pada teriak harga beras Rp 6.000.

“Pak, pulang, beras Rp 6.000. Utangan sudah numpuk di tetangga”, kata Karim prihatin menirukan istrinya yang mengabari lewat telepon milik tetangga kontrakan. Demikian pula bini Wardiman, pengasong yang sudah 15 tahun berdagang juga sudah menjerit kejepit utangan beras. Jika Zulfansyah, Karim, dan Wardiman yang demikian rumit menyiasati hidup terus dipaksa memenuhi kutipan-kutipan biadab itu, pada siapa mereka mengadu.

Seorang aparat keamanan di Pasar Minggu yang biasa dipanggil Alex tanpa tedeng aling-aling mengaku, “Di Indonesia ini coba anda lihat, apa ada yang tidak korupsi. Mereka yang di atas saja bebas-bebas saja kok. Kami ini kan cuma kutipan kecil yang juga harus setor ke aparat. Korupsi di jalanan ini sudah didikan dari atasnya,” ujar lelaki berbadan gempal itu.

Benar seloroh seorang pekerja sosial di Jakarta. “Kalau kita melebur dengan komunitas pedagang pasar kita melihat pemandangan yang sampai pada kesimpulan, peran negara untuk rakyat kecil memang tidak ada. Lihat saja, yang mengamankan mereka jualan bukan negara melainkan preman-preman pasar. Kalau ada aparat negara yang turun prilakunya juga tak jauh beda, sama-sama menuntut setoran. Konyolnya, yang kecil selalu kalah dan tertindas”, kata Bapak satu anak yang akrab dengan dunia pasar dan pedagang kecil itu.

Itulah korupsi yang sudah menjadi darah daging bangsa ini. Sudah mengakar hingga tulang sungsum tanpa penyelesaian dan teladan yang jelas dan tegas. Tidak hanya kalangan pengusaha atas yang direpotkan olehnya. Pedagang kecil pun turut diperdaya. Bedanya, kalau pengusaha besar terluka segera diobati negara. Tetapi jika pedagang kecil yang teraniaya, adakah yang membela?

2 comments:

Fida Abbott said...

Mas Sunaryo,
Iya emang benar, orang bawahan selalu melihat orang yg di atasnya. Kalau yg di atas udah bejat, apalagi yg di bawah. nah yg kena batunya itu ya rakyat jelata.
Saya mau sharing sedikit ya, harga beras di USA ini sgt murah loh kalau dikonversikan dgn pendapatan rata-rata penduduknya. Suatu ketika saya beli beras berkantung plastik sekitar !/4 kg yg harganya hy beberapa puluh sen. Saat saya teringat banyak org Indo yg kelaparan dan makan nasi upil, hati saya rasanya mau menangis, tapi nggak bisa. Hati saya trenyuh sekali, nggak bisa ditulis dengan kata-kata.

Semoga suatu saat nanti negara ini bisa berubah ya. Nggak usah banyak-banyak nggak apa-apa kok, sedikit demi sedikit, lambat asal selamat nggak apa-apa. Kasihan anak cucu mereka nanti.

Salam

Anonymous said...

Numpang baca di sini ya... Salam kenal.. :)

www.sq-utami.blogspot.com