Tidak ada barang yang terlalu istimewa dijajakan para pedagang di pasar krempyeng (pasar setengah hari) itu. Ada batu akik, kain lap, peralatan dapur, sampai hasil kerajinan tangan seperti lampit rotan dan sebagainya. Semua barang kaki lima yang umum di Indonesia ada. Tetapi orang rela datang jauh-jauh dari Kuala Lumpur, Kuching, dan Brunai Darussalam hanya untuk membeli barang-barang itu di pasar krempyeng Serikin, Serawak negara bagian Malaysia.
Orang Malaysia memang tidak menamai pasar yang 500 lebih pedagangnya asal Indonesia itu sebagai pasar krempyeng. Tetapi di Jawa, pasar yang beraktivitas setengah hari dan hanya dua kali (Sabtu dan Minggu) ini kerap disebut pasar krempyeng. Meski begitu omzet per hari setiap pedagang dapat mencapai 600 sampai 2000 Ringgit Malaysia.
Pasar Serikin hidup sejak pasar rakyat di Entikong, Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia pada tahun 2000 digusur pemerintah Indonesia. Menurut Ateng, mantan pedagang di Entikong yang kini bekerja serabutan, waktu pasar belum digusur, Entikong pusat perbelanjaan masyarakat Malaysia.
“Kami lumayan makmur berdagang di Entikong. Setelah pemerintah memindahkan zona dagang masuk ke wilayah Indonesia dengan membangunkan ruko, pembeli dari Malaysia tidak mau lagi datang. Mereka merasa tidak nyaman karena siapa mau menjamin kenyamanan mereka berbelanja. Apalagi mereka harus pakai paspor segala, ribet. Para pedagang yang jumlahnya ribuan saat itu bangkrut”, kata Ateng yang dulu sempat punya omzet 2000 Ringgit per hari.
Seorang pembeli di Pasar Serikin asal Kuala Lumpur yang tak mau menyebut namanya mengaku enggan datang berbelanja lagi ke Entikong. Menurutnya, suasana pasar kurang nyaman. Bahkan dia kerap melihat ada yang mabuk-mabukan di pasar. Selain juga rawan copet, katanya. Dia mendukung program pemerintah Malaysia yang melokalisasi pedagang Indonesia ke wilayah Serikin kini.
Di Entikong saat ini memang relatif sepi. Hari Sabtu dan Minggu tak ramai seperti tujuh tahun lalu. Bahkan pasar yang dibangun pemerintah Indonesia itu tak satupun ditempati pedagang. Karena para pedagang yang punya cukup modal memilih hijrah ke Serikin daerah perbatasan Indonesia – Malaysia yang ditempuh tiga jam dari Entikong.
Serikin telah menjadi surga para pedagang kaki lima Indonesia. Pemerintah Malaysia memfasilitasi para pedagang dengan memberikan lahan yang dibangun lapak-lapak. Sebagai kompensasi, tiap pedagang membayar 10 Ringgit per hari yang dikutip secara resmi oleh pemerintah setempat. Tidak ada kutipan liar layaknya di pasar kaki lima Indonesia yang dilakukan preman, Trantib, sampai aparat pemerintah.
“Saya sedih. Apa susahnya pemerintah saya melindungi pedagang kecil seperti yang dilakukan pemerintah Malaysia. Masak saya ini warga Indonesia tapi nasib saya diurus negara lain. Rakyat kecil seperti kami tidak perlulah pemerintah pusing-pusing ngurus cukup memfasilitasi dan melindungi,” ungkap Sudirman, penjual kerajinan perak asal Padang yang sudah tiga tahun dagang di Serikin.
Perasaan senada juga disampaikan Asep, pedagang sepatu asal Cianjur, Jawa Barat. Demikian pula Zamzam pedagang pecah belah dari Pontianak yang sampai mampu membuat dua rumah mengaku bersyukur pemerintah Malaysia memberi ruang para pedagang untuk jualan. Menurut Zamzam suasana jual beli di Pasar Serikin sangat kondusif.
“Coba lihat, suasananya. Kami aman tak banyak kutipan dan gangguan preman. Pembeli juga nyaman dengan dompet dan tasnya. Bandingkan kalau pasar ini ada di wilayah sebelah (Indonesia), siapa bisa menjamin. Tapi kadang kami juga malu, orang Malaysia sering memandang bangsa kita sebelah mata karena prilaku kita sendiri”, kata Zamzam yang punya omzet sampai 2000 Ringgit per hari.
Fasilitasi Kesenangan Rakyat
Para pedagang di atas dan teman-temannya yang kini eksis di Serikin mengalami dua tata pemerintahan yang berbeda. Meski Kalimantan dan Serawak masih satu Borneo, tetapi terjadi perbedaan peradaban yang jomplang. Wajar jika mereka harus mengagumi pemerintah Malaysia tanpa mengurangi rasa nasionalismenya pada Indonesia.
Satu meter melangkahkan kaki dari Entikong masuk ke zona Serawak, kita seperti ada di dalam mimpi. Keluar dari belantara rimba yang mengerikan masuk ke dalam sebuah negeri penuh peradaban. Sarana infrastruktur seperti jalan raya jauh lebih baik ketimbang jalan-jalan di Jakarta. Satu Borneo hadir dalam dua wajah peradaban.
Jika boleh bercanda, di Serawak juga banyak hutan seperti kalimantan. Entah apakah tata kotanya yang rapi sehingga hutan di Serawak pun terlihat seperti disisir klimis dan dipoles. Selain itu juga tidak tampak ketimpangan sosial sekalipun di Ibukota Serawak, Kuching. Perumahan penduduk punya standar sama. Demikian pula bangunan gedung pemerintah terlihat rapi dan bersahaja.
Pemandangan semacam ini jauh berbeda dengan di Indonesia. Orang Indonesia di kota maupun di desa bebas saja membangun rumah megah bak istana di antara rumah-rumah kumuh dan miskin. Orang kita juga amat bebas memamerkan harta kekayaannya di depan publik. Tak akan ada yang mengusik meski ia punya sepuluh mobil mewah dan sepuluh rumah megah. Maka wajah kapitalisme lebih mencolok di Indonesia yang miskin ketimbang Malaysia yang makmur.
Walau kita makin tertinggal jauh, tetapi Indonesia adalah surga bagi penggiat demokrasi. Siapapun boleh bicara bahkan mencerca. Jungkir balik sekalipun selama atas nama demokrasi sah-sah saja. Meski terkadang melanggar norma susila, kasar dan liar. Kebebasan semacam ini tak akan diperoleh di Malay
sia. Di pasar Serikin saja orang tidak mau menyebutkan namanya. Atau mungkin karena yang bertanya orang Indonesia. Tetapi seorang teman di Malaysia mengaku tak ada demokrasi di negeri jiran itu.
Namun begitu, pemerintah masih melayani kesenangan rakyatnya. Pasar Serikin misalnya. Pemerintah Malaysia melokalisasi pedagang dari Indonesia itu agar rakyat Malaysia terpenuhi selera belanjanya. Keamanan dijamin penuh dan rakyat merasa dilayani negaranya. Bahkan pedagang kita ikut mencicipinya. Tetapi demokrasi di Indonesia belum bisa menjawab kebutuhan itu.
Indonesia yang sudah luar biasa demokratisnya ini, hendaknya belajar pada Malaysia tata cara melayani rakyat. Untuk urusan sepele seperti pasar kaki lima, pemerintah Serawak saja mampu mencari solusinya. Hasilnya, meski harus terbang dengan pesawat dari Kuala Lumpur dan Brunai Darussalam, mereka tak enggan hanya untuk membeli serbet dapur ke Kuching.
Dari sisi budaya, untuk mencapai tata kehidupan sebanding dengan Serawak saja, memang tak cukup hanya berharap pada pemerintah. Kita mesti mulai belajar mau diatur untuk urusan yang baik. Membuang sampah pada tempatnya agar kota tak menjadi kumuh. Tertib di jalan raya dan patuh pada rambu-rambu lalu lintas. Juga belajar mementingkan kepentingan bersama ketimbang pribadi.
Pun pemerintah juga mes ti memberi teladan. Dari hal kecil, jangan korupsi seperakpun. Juga jangan sampai benar-benar niat korupsi sampai menyimpan uang di kamar mandi. Jika harmoni ini brjalan berirama, kira-kira itulah Indonesia yang beradab dan berbudaya. Read More......