Friday, May 04, 2007

Serpihan Ban Bekas

Telapak tangan Andy Prima (20) mulai melepuh. Tapi ia belum menyerah. Tangannya masih terus merobek dan memilah ban bekas untuk memisahkan antara karet dengan benang. Sejak dari pulang sekolah usai sholat dhuhur dia baru akan berhenti setelah dapat satu kilogram karet.

“Biasanya bisa sampai jam satu pagi. Kalau nggak sampai satu kilo belum sebanding dengan lelahnya”, kata murid kelas tiga SMA Nasional Bogor ini sembari menyeka keringat.
Satu kilo karet murni itu dihargai Rp 9.500. Tetapi itu belum untung bersih. Karena Andy harus membeli karet itu ke pengepulnya Rp 4.500 per kilogram. Benangnya sendiri dihargai Rp 1.500 perkilogram, itupun jika panjang benang mencapai satu meter.

Bicara lelah, tak sepadan memang antara hasil dengan perasan peluh Andy. Tetapi anak ketiga dari pasangan Acep Tauhid dan Nurma Ningsih yang tinggal di RT 03/10 Bantarjati Kaum, Bogor Utara ini harus melakukan itu agar bisa membayar biaya sekolah. Namun tetap saja ia masih punya tunggakan di sekolah.

Andy, dibesarkan dalam keluarga yang jatuh bangun dalam membangun ekonomi. Sempat ibunya yang asli Padang dan biasa dipanggil Bunda ini punya usaha warung makan. Saat usaha mulai berjalan baik tiba-tiba warung yang diberi nama Kedai Bunda di bilangan warung Jambu Bogor ini digusur. Meski terusir, orang tua Andy tak menyerah. Mereka membuka kembali di tempat lain. Sayang, pembeli sepi dan berujung pada kebangkrutan.

Sepuluh tahun berlalu, keluarga Andy mulai menyiasati hidup dengan beragam cara. Sang ayah kadang menjadi kuli bangunan. Kali lain, Acep mencari barang-barang bekas di sekitar bogor. Barang buangan seperti tas, kancing baju, benang, dan sebagainya itu sesampai di rumah akan dibersihkan istrinya.

“Saya cuci barang-barang yang dibawa bapak ini sampai bersih. Lalu saya semir kemudian saya bungkus plastik. Setelah terkumpul banyak, saya muter keliling kampung menawarkan ke orang-orang. Hasilnya sebagian untuk beli beras sisanya untuk sekolah anak-anak,” kata Bunda yang nyambi buruh cuci ini sambil mengaku hidup tak perlu banyak gengsi dan malu.
Bahkan Bunda selalu menyemangati Andy agar tetap sekolah dan tak perlu malu sambil kerja. Kadang usai kerja mencuci Bunda membantu Andy mengupas ban bekas. Tetapi jika tahun ini Andy lulus Bunda berharap Andy tidak merantau.

“Dua kakak Andy sudah tiga tahun merantau ke Sumatera. Belum pernah kirim kabar. Saya bilang Andy, cari usaha di sini sajalah nak nanti kita kerja sama-sama. Apa ajalah yang penting halal”, harap Bunda sendu.

Andy remaja yang terlihat kalem ini punya mimpi sederhana. Jika tahun ini lulus ia ingin menjadi wiraswasta. Apalagi Andy dihadapkan pada kondisi hidup yang makin sulit. Para buruh pabrik di sekitarnya banyak yang kena PHK. Malah para karyawan pabrik yang masih kerjapun banyak yang juga nyambi menjadi pengupas ban. “Mereka banyak juga yang punya sampingan ngupas ban. Tapi beda dengan saya, mereka bisa beli sampai satu kwintal. Kalau Andy paling banyak lima kilogram”, terang Andy sembari berharap punya modal agar bisa membeli ban dalam jumlah besar.

Kemanapun cerita hidupAndy kelak akan berujung, tetapi anak itu punya semangat kemandirian luar biasa. Demi sekolah, ia tak gengsi bekerja sekeras itu. Pernah pula ia jadi pengamen untuk membayar SPP. Sebuah pesan yang layak ditiru dari keluarga Andy adalah tentang kebersamaan dan kemandirian. Ayah, Ibu, dan anak itu berpadu tangan menghadapi gempuran kemiskinan.Meski tangan melepuh, peluh bercucur, dan nasib tak jua berubah keluarga Andy punya mutiara yang tak tentu ada di dalam keluarga lain. Yakni, semangat pantang menyerah!

No comments: