Thursday, July 19, 2007

Bilakah Tangismu Jadi Doa

”Lagi ngurusin cerai di Pengadilan Cilegon mas”. Khairunisa (34), membuka perbincangan. Nafasnya agak tersengal saat membuka pintu kontrakannya. Badannya kurus pucat. Wajahnya, seolah diselimuti kabut tebal masalah yang sarat. Buru-buru, ia mempersilakan duduk lesehan di atas karpet tua warna merah. Di pangkuannya, duduk putri keduanya yang berumur dua tahun, Dwi Mayanda Nuraini.


Anak itu, duduk di pangkuan ibunya dengan lemah. Badannya kurus, rambutnya merah keriting. Seperti kurang gizi. Pada 2006 lalu, Nuraini pernah muntah darah. Dokter tempat berobat bocah itu memvonis, Nuraini mengalami jantung bocor. Jika ingin sembuh, Khairunisa harus menyiapkan Rp 750 ribu untuk setiap kali berobat. Ia terbelalak. Sejak itu, hanya sekali Nuraini dibawa ke dokter. Tak pernah lagi hingga kini. Padahal dokter berpesan, umur dua tahun Nuraini harus menjalani operasi.

Khairunisa, sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan putrinya terus dikejar rasa sesal. Tiap melihat gerak tingkah Nuraini, seakan mencabik-cabik ulu hatinya. Pedih. Makin terasa dirajam batinnya, tatkala tahu derita Nuraini tak hanya jantungnya yang bocor. Anak yang sulit tersenyum itu, ternyata punya kelainan yang sangat mengganggu. Ia tidak memiliki lubang kelamin. Derita yang berlapis-lapis.

Khairunisa punya anak dua. Anak pertama, Dinda (9) terancam tak bisa sekolah di bangku sekolah dasar. Untuk menyiasati hidup, ia ngontrak Rp 175 ribu per bulan, di Lingkungan Serdang RT 04/08, Kota Bumi, Purwakarta, Cilegon, Banten. Dengan modal Rp 2 juta, ruang tamu disulap jadi warung untuk jualan kecil-kecilan. Tetap saja, ia tak sanggup memenuhi kebutuhan hari-hari, diri dan dua naknya. Kontrakan, kerap telat bayar.

”Kalau masih kurang untuk bayar kontrakan, saudara saya minjemin, ntar dibayar kalau sudah ada uang”, katanya lirih.

Dengan derita anaknya, ia tak sanggup mempertahankan bahtera rumah tangga. Suaminya, sudah delapan bulan pergi. Terpikat wanita lain, sampai akhirnya menikah. Sementara ia dan darah dagingnya sendiri tak dinafkahi. Cerai, setidaknya diyakini Khairunisa menanggalkan satu bebannya yang berat. Jikapun dipertahankan akan terus menikam perasaan.

”Dia tidak bertanggung jawab”.

Bahkan, rumah yang dulu ditempati Khairunisa juga sudah dijual untuk membayar utang-utang suaminya. Sudah tidak terukur, pengorbanan harta dan perasaan wanita itu. Ia hanya bisa berandai, jika suaminya tak menjual rumah itu, mungkin bisa dijual saat ini untuk membiayai operasi Nuraini.

Tetapi semua sudah habis. Ludes. Tinggal air mata yang belum kering. Masih mengalir deras sebagai pencurah segala beban. Makin kencang jeritan itu, tatkala ia menatap Nuraini tergeletak lemah. Menangis dan menangislah Khairunisa, agar isakmu menjadi doa untuk anak-anakmu.

No comments: