Thursday, May 01, 2008

Ancaman Rawan Pangan


Pangan langka dan mahal tidak saja menerpa secara langsung warga termiskin di dunia. Inflasi, yang didongkrak harga pangan dan minyak, juga mulai menggerus ekonomi dan dikeluhkan di banyak negara. Topik pembicaraan terus berkembang dan makin mengarah pada probabilitas terjadinya stagflasi global.



Presiden World Bank, Robert Zoellick, awal April lalu mengingatkan, krisis pangan bisa memicu perang. Menurutnya, akan ada 33 negara di seluruh dunia yang mengalami masalah instabilitas politik dan sosial, akibat tingginya harga bahan pangan dan harga bahan bakar minyak.

Ungkapan Zoellick bukan pepesan kosong. Kini, kerusuhan akibat kelangkaan bahan pangan terjadi di Mesir, Pantai Gading, Madagaskar, Kamerun, Filipina, Papua Nugini, Mauritania, Mexico, Maroko, Senegal, Uzbekistan, dan Yemen. Perdana Menteri Haiti, bahkan dimakjulkan dari jabatannya, gara-gara soal perut yang menyebabkan lima warga mati, ditembak dalam kerusuhan massal.

Padahal, menurut Amartya Zen (1998), sepanjang sejarah dunia, sebenarnya tidak pernah bumi ini mengalami kekurangan dalam penyediaan bahan pangan. Tapi yang terjadi, distribusi tidak merata sehingga krisis demi krisis kerap terjadi.

Bahkan, FAO dalam laporannya tahun 2004 menyatakan, peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia, sebesar 16%. Lantas mengapa rawan pangan mengancam?

Masalahnya adalah, negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, ‘’mengatur’’ pertanian negara- negara lain, agar menguntungkan pertanian mereka sendiri. Misalnya lewat tangan WTO (World Trade Organization), mereka melakukan politik pertanian internasional mazhab Neo-liberalisme dengan memaksakan kesepakatan AOA (Agreement on Agriculture) WTO.

Menghadapi ancaman rawan pangan ini, berbagai negara, kini bergegas melakukan langkah antisipasi, setidaknya menjamin pengadaan pangan. China telah memperbaharui program insentif di sektor pertanian dengan dukungan Rp 80 triliun dana. India dan Filipina, memilih pembangunan prasarana pedesaan, pengadaan bibit unggul dan sarana pendukung pertanian. Lantas, apa yang kini bisa dilakukan Indonesia?

Setidaknya, kita bisa mulai melakukan moratorium liberalisasi perdagangan. Tahan ekspor komoditas pangan, menstabilkan cadangan emas, menyimpan hasil pertanian (padi, jagung, kedelai, dll) bukan malah dijual ke luar negeri, tidak mencari utang baru, menentukan skala prioritas kebutuhan pokok di setiap lini, dan meninjau ulang semua investasi asing, terutama yang terkait tambang dan sumberdaya alam.

Lebih strategis lagi, kita harus berani keluar dari WTO. Bentuk perjanjian yang menjerat leher bangsa ini, sejak 1995. Kita perlu bererat-erat dengan negara negara yang bersih dan berpihak. Negara negara yang tidak melumuri bangsanya dengan darah bangsa lain, sebagai penjajah. Tapi, untuk memutuskan keluar, rakyat bangsa ini perlu berdoa sepenuh hati, agar pemerintah yang kita cintai ini, berani memilih jalan bermartabat itu.

No comments: