Tuesday, September 26, 2006

Di Mana 1,3 Milyar Lainnya Itu?


‘’Sungguh kami menyayangkan sikap diam dan lemahnya pemerintah Arab dan dunia Islam. Padahal keberpihakan sikap para pemimpin Arab dan dunia Islam dapat mengeluarkan rakyat kami dari keterasingan, dimana mereka sudah dan sedang dibantai, dihancurkan semua tampat berpijak mereka, kota-kota, desa-desa dan kamp-kamp mereka. Pasokan air dan makanan diputus, mereka pun makan dedauan dan minum air yang tercemar....’’

Komunike yang menyayat hati itu disiarkan awal April 2002 di situs Hamas (Harakah Muqawwamah Al Islamiyah). Isinya seolah menyiratkan nada putus asa menghadapi situasi tak menentu yang mereka alami sendiri selama dua bulan terakhir di Palestina.

Israel dengan tentara, tank, dan buldosernya terus memburu penduduk Palestina di banyak kota, dan menduduki kota-kota itu. Di sisi lain, sikap pemerintah negara-negara Arab dan dunia Islam juga makin tak jelas dan terpecah. Mereka, pejuang Palestina, seolah dibiarkan sendiri meregang nyawa menghadapi kebiadaban serdadu Israel. Sementara dunia Internasional juga relatif tidak berdaya menghentikan angkara Israel.

Serangan Israel atas Jenin dan sejumlah kota lainnya saat itu, termasuk yang paling brutal setelah pembantaian Shabra-Shatila 1982. Setelah menghancurkan dan menduduki Ramallah termasuk markas Yasser Arafat, juga Betlehem, mereka memporakporandakan Jenin. Wartawan yang meliput di Jenin menyebutkan, sekitar seribuan orang diperkirakan telah menjadi korban kebiadaban tentara Israel. Mereka tewas akibat ditembak, disiksa, dibuldoser, dan dibom. Menteri Palestina, Saeb Erekat, menuturkan ratusan warganya tewas. Erekat memperkirakan Israel telah menguburkan mereka dalam sebuah pemakaman massal.

Beberapa media barat seperti Radio Jerman DW menilai serangan Israel itu sebagai usaha untuk menghancurkan Palestina dan menyingkirkan Arafat. Setelah menduduki kota Tulkarem di Tepi Barat Yordan, tentara Israel melakukan penangkapan dan aksi pembunuhan. Dengan demikian selain Tulkarem, kota lainnya yang secara penuh diduduki tentara Israel di Tepi Barat adalah Nablus, Kilikija, dan Jenin. Juga sebagian Bethlehem, Hebron dan Jericho.

Dunia Barat dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memang mengutuk serangan Israel atas Palestina. Tapi, kutukan itu tinggal kutukan. Selebihnya, nol!

Bahkan AS lewat Menteri Luar Negerinya ketika itu, Colin Powell, menandaskan bahwa “Negara AS mempunyai komitmen tak tergoyahkan untuk menjaga keamanan Israel.”

Sebelum pertemuan Arafat-Powell, Washington pun sudah mengeluarkan seruan agar pihak Palestina menghentikan aksi "terorisme" secepatnya jika tak ingin kehilangan jutaan dolar dan bantuan dunia.

Saking kecewanya, Sekeretaris Kabinet Palestina Ahmad Abdel Rahman saat itu sampai berujar, "Kami telah mendengar kata-kata menyenangkan dari Amerika yang tidak lebih dari omong kosong belaka. Dalam kenyataannya Amerika berposisi mendukung dan ada di balik agresi Israel terhadap Palestina itu," kata dia.

Kini, setelah gagal memusnahkan Palestina pada 2002, Israel kembali meneruskan nafsu angkara murkanya. Tak hanya Palestina, dua tetangganya Libanon dan Suriah pun dihajar juga dengan dalih memburu Hizbullah.

Meski jelas-jelas Israel telah menerjang semua batas peradaban dan peraturan internasional, tapi dunia sepertinya ‘’tak berdaya’’ menghentikan aksi brutal itu. Sekjen PBB Koffi Annan lagi-lagi hanya menyerukan agar kedua pihak berunding. Uni Eropa dan banyak negara dunia ketiga hanya menyayangkan serangan Israel.

Sementara itu, Amerika Serikat justru terang-terangan membela ulah Israel. “Israel punya hak membela diri,” kata juru bicara Gedung Putih, Tony Snow.

Dan lagi-lagi, yang mulai tuan-tuan penguasa Arab diam saja. Dalam pertemuan belum lama ini, mereka baru akan mengirimkan tentara perdamaian ke Palestina dan Lebanon bila diajak PBB. Sedangkan PBB hingga kini tetap diam saja.

Padahal, DR Yusuf Qardhawi, Kepala Al-Ittihad Al-Alamy Li Ulama Al-Muslimin (Asosiasi Ulama Islam Internasional), sudah mengingatkan, “Serangan terhadap warga sipil dengan misil tidak pernah dibenarkan oleh peraturan dan undang-undang manapun. Maka, mereka yang berdiam diri untuk tidak menolong kaum Muslimin yang sedang terzalimi, mereka tidak akan mendapat pihak yang menolong mereka kelak.”

Dalam pertemuan OKI (Organisasi Konferensi Islam) tahun lalu, utusan Indonesia KH Hasyim Muzadi mengajukan otokritik buat para pemimpin negeri Islam. Ketua Umum PBNU mempertanyakan, bagaimana mungkin Pakistan tega membiarkan wilayahnya menjadi pangkalan militer Amerika Serikat untuk menggempur Afghanistan. Padahal, kedua negara muslim itu bertetangga, bahkan berbatasan wilayah pula. Yang menyedihkan, ternyata pengkhianatan terhadap ukhuwah itu dilakukan demi pemutihan utang Pakistan pada Amerika.

Krisis kepedulian yang parah itulah yang menjelaskan, mengapa Israel begitu ugal-ugalan. Dan sikap ini sudah berlangsung sejak lama.

Setiap PM Israel, hampir pasti didukung kalangan ekstrimis Yahudi, terutama dari kelompok sayap kanan. Avigdor Lieberman, menteri dalam kabinet Ariel Sharon dari kelompok sayap kanan, menyeru tentara Israel untuk membombardir Palestina, bukan cuma warganya, tapi juga bank, pasar, supermarket, mal, dan bahkan masjid.

Koran Yahudi Yediot Ahronot edisi 8 Maret 2002 mengutip ucapan Lieberman dalam sebuah rapat kabinet. “Jam 8 kita membombardir seluruh pusat perdagangan, jam 12 kita melumat seluruh pomp pengisian bahan bakar, jam 14 kita meratakan seluruh bangunan bank,” tutur Lieberman.

Sepekan kemudian, media Israel mempublikasikan wawancara dengan Martin van Creveld, pakar terpandang di bidang sejarah militer Israel. Creveld juga mendorong Israel membunuh ribuan warga sipil Palestina, dengan dalih untuk membela diri dari ancaman teroris dan tindakan bunuh diri.

Berapa persisnya yang harus dibunuh?

“Sebanyak mungkin. Serangan kita harus tuntas, biar tak ada lagi serangan kedua. Membunuh 5 ribu atau 10 ribu mungkin belum cukup, dan sepertinya harus lebih lagi,” kata Creveld berapi-api.

“Yang kita butuhkan adalah serangan massal. Memang ini tindakan kriminal, tapi apa boleh buat jika itu untuk menyelamatkan negara. Kita terancam serangan kriminal tak berujung yang akan membunuh kita, dan kini telah membunuh beberapa dari kita. Jadi, lebih baik kita melancarkan aksi kriminal massal yang tuntas. Setelah itu kita akan keluar dari persoalan ini, menguncinya rapat-rapat di belakang kita, dan melupakannya,” kata Creveld lagi.

Tak khawatirkah Creveld jika para petinggi Israel dituntut sebagai penjahat perang? Creveld sangat enteng menjawab, “Rakyat akan memaafkan perbuatan kriminal, dengan satu syarat, tindakan itu tuntas dan berlalu. Mereka memaafkan jika itu dilancarkan secara cepat, lancar, dan apalagi jika sukses. Jika gagal, semuanya akan hilang.”

Saat umat Islam di mana-mana menggelar aksi menentang pembunuhan Syekh Ahmad Yassin, dengan santai Menteri Pertahanan Israel Saul Mofaz mengatakan, ''Ah, biarkan saja, mereka juga nanti akan lupa.''

Ya, ternyata dunia Islam yang berpenduduk 1,3 Milyar saat ini lupa bahwa Rasulullah Saw panutannya pernah berwasiat, ”Barang siapa menyampaikan hajat saudaranya sesama Muslim, niscaya Allah akan memenuhi hajatnya. Dan siapa yang membebaskan kesukaran seorang Muslim di dunia, niscaya Allah akan membebaskan kesukarannya di hari kiamat” (HR Bukhari-Muslim).

Dunia Islam juga lupa akan pesan Nabi Saw, ”Barang siapa meringankan kemiskinan seorang miskin, Allah akan meringankan baginya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hamba, selama hamba itu menolong saudaranya” (HR. Bukhari-Muslim).

Dan dunia yang beradab, dimanakah mereka? Di manakah 6,3 Milyar manusia yang berhati nurani itu?

No comments: