Wednesday, May 09, 2007

Mata Kemanusiaan


Baruilir, Balikpapan Barat, jelang sore yang gelap dengan rintik hujan tiada henti sejak siang hari. Di musim hujan begini, mentari seolah sepakat untuk cuma sekelebat memendar, kemudian lenyap. Langit di atas Kalimantan Timur menjadi makin pongah dengan kepekatannya, memayungi iring-iringan burung yang hendak terbang entah kemana.

Cuaca suram ini tak tampak dipandang Zaenudin (40) yang tuna netra. Di bilik kayu kecil terdengar ia bercanda dengan anak dan istrinya. Guruh menggelegar seolah diacuh, tawa buah hati yang masih bayi lebih indah ketimbang gemuruh petir yang memekakkan telinga. Sayup-sayup harmoni itu terdengar, membetot rasa ingin lebih mendekat.

Penasaran yang mengusik memaksa tangan mengetuk pintu yang sudah rombeng. Terbuka, bocah umur 6 tahun nongol membukakan pintu. “Masuk Pak”, sambutnya ramah.

Saat kaki menjejak pintu, mata mulai menyapu sudut-sudut ruangan yang sesak oleh perabot rumah tangga. Tiga anak kecil di dalam rumah itu segera rapat mendekat. Sorot matanya bening, raup mukanya yang lugu menyambut ramah. Jika pandangannya dibalas, buru-buru mulut mungilnya mesem malu.

Tak berselang lama, Zaenudin mendekat sembari meraba-raba dinding dari kamar belakang. Disusul istrinya, Astriani (32), menyembul dari ruang dapur sempit samping ruang tamu. Allahuakbar! Pekik takbir dalam hati. Astriani ternyata juga tidak dapat melihat. Sambil menggendong Muhammad Ramadani yang baru empat bulan, ia terbata-bata mendekat.

Lengkap sudah pasangan tuna netra dengan empat anak ini berhadapan di depan mata. Beberapa saat mulut terkatup rapat. Kagum dan haru membuncah saat melihat empat anak Zaenudin dan Astriani tumbuh normal, beradab, dan sopan. Tukang pijat ini pun menanyakan maksud dan tujuan kedatangan saya dan Ahmad Richard seorang teman di Kaltim.

Richard sejenak diam. Berlahan saya meraih bungkusan plastik dari tangannya. Di dalam terbungkus buku tebal untuk Zaenudin. Saya buka perlahan. Sembari mendengarkan perbincangan Richard dan Zaenudin saya sibak halamannya. Tak ada setetes tinta pun membekas di permukaan kertas tebal itu. Disingkap dari depan sampai akhir semua putih bersih.

Tiba-tiba perasaan terentak saat telapak tangan mengelus permukaannya. Kasar, hanya ada totol-totol kecil timbul. Mata terpejam mencoba konsentrasi merasai makna yang tergurat di atas kertas putih itu. Tak ada pesan tertangkap kecuali rasa kasar yang menggelitik telapak tangan. Yang dapat saya baca hanya cover depan, “Al Quran Braile”.

Saya tercenung, sejenak merenung. Segudang gundah melesak ke ceruk jiwa menghakimi ketidak bersyukuran. Karunia mata normal yang mampu melahap indahnya dunia nyaris tak kerap diajak menyorot ayat-ayat Allah yang tergores nyata di atas Al Quran. Cetakan dengan huruf hijaiyah yang nyata terlihat lebih banyak diacuhkan. Sementara totol-totol di atas permukaan kertas putih ini mencoba menuntun tuna netra memahami wahyu Illahi.

Astaghfirulah! Batin makin menjerit saat Al Quran Braile itu sampai di tangan Zaenudin. Wajahnya sumringah, gembiranya membuncah, lama senyumnya mengembang. Dia buka halaman pertama. Telapak tangannya terbata-bata meraba. Ada mesem mengawali sebelum nada indah meluncur dari rongga mulutnya. “Alif lam mim. Dzaalika al kitaabu lla raiba fiihi. Hudan lilmuttaqiin…”, al-Baqoroh terbaca nyaring oleh Zaenudin.

Duh, hati mengaduh malu. Saya membatu menatap wajah dan mulut Zaenudin yang komat kamit. Gemetar tangannya memantul pesan syukur ia mendapatkan apa yang bertahun-tahun dicari. Sementara saya tertampar malu bertahun-tahun menterlantarkan mata menyibak halaman-halaman maksiat. Dalam wajah dunia yang tak pernah ia nikmati, Zaenudin menggenggam aroma surgawi. Fasih lafadznya makin mengiris kepongahan diri yang miskin syukur.

Ramah sang istri, santun budi putra putrinya mewujudkan Zaenudin seorang ayah dan suami yang baik. Dengan mengandalkan keahlian sebagai tukang pijat, Zaenudin menjalani hidup penuh semangat. Bicara kesalehan sosial, ia malah memberi kita teladan. Sejimpit rezeki yang mampir di dapurnya akan dibagi dengan puluhan penyandang tuna netra lain yang tersebar di Balikpapan.

“Kalau ada rezeki, saya dituntun anak mendatangi teman-teman senasib. Kami punya paguyuban, hanya dengan rasa senasib seperjuangan kami dapat melalui dunia yang indah tapi gelap pekat ini”, ungkapnya mencabik hati. Terlebih saat harga-harga yang hari ini terus merambat naik, membuat orang-orang seperti Zaenudin makin terjerat.

Saat Zaenudin memikirkan nasib kaumnya, kita tergagap malu. Siapa yang memikirkan nasib Zaenudin-Zaenudin yang lain. Buta mata Zaenudin tidak menutup buta hati. Samudra kemanusiaan membentang luas di jiwanya. Sementara kita yang terang mata kerap buta hati. Mata elang pemimpin pun terkadang sekadar tajam dalam sorot bengis melumat yang tertindas. Mata-mata nanar penuh siasat mengakali yang lemah untuk bertahan agar tetap gagah.

Berjuta pasang mata melihat dunia penuh culas dengan hiasan tumpah darah peperangan. Mata-mata yang menyuburkan kejahatan, merusak tatanan, dan merobek keagungan Tuhan. Sementara Zaenudin menikmati karunia matanya dengan pesan syukur. Tidak mengumpat apalagi mencaci Sang Pemberi. Mata Zaenudin mata kemanusiaan yang mampu melihat dunia dalam tatapan keadilan dan perdamaian. “Atas pesanmu yang sarat, saya makin bersyukur Zaenudin”.

Bersyukur adalah juga berterimakasih atas nikmat sekecil apa pun. Orang yang sembelit, mesti bersyukur saat bisa buang hajat. Yang puasa, plong waktu berbuka. Yang kena asma, segera menghirup udara kuat-kuat saat kumatnya hilang. Yang matanya klilipan bersyukur tidak kebablasan buta. Yang tak punya rumah, kendaraan, usaha, dan apa saja, semuanya harus bersyukur setelah memilikinya. Dan, bersyukurlah orang-orang yang memiliki mata kemanusiaan.

1 comment:

Fida Abbott said...

Terharu saya membaca tulisan-tulisan Mas Sunaryo.

Apa kabar Mas???

Salam dr PA
Fida