Perumahan megah tampak berdiri kokoh di kawasan Ciumbuleit, Bandung Selatan. Rumah-rumah besar yang mewah itu menurut masyarakat setempat sebagian dihuni para bule. Tak salah jika kawasan itu dikenal sebagai area elit. Apalagi alamnya yang sejuk sangat cocok jika Ciumbuleit sebagai peristirahatan orang berduit.
Di Ciumbuleit, tepatnya Kampung Rancabentang, terselip komunitas pemulung dari Majalaya. Mereka tinggal di bedeng yang menempati lereng curam. Sore itu, di sela istirahat usai mulung, Kang Eman (38) tengah membersihkan wajan hitam yang sudah dekil. Di sampingnya, Asep sedang menyiangi daun enceng gondok dan daun kangkung yang terlihat tua kekuning-kuningan.
“Tadi pulang dari mulung lihat enceng gondok di kali. Akang petik buat sayur. Lumayan nggak beli”, kata Eman agak malu-malu. Lelaki yang pernah kerja di pabrik delapan tahun ini mengaku sering mencari daun-daunan untuk lauk makan sehari-hari. Menurutnya itu sangat membantu tidak hanya bagi dirinya tapi juga buat 16 pemulung lainnya yang tinggal dalam satu bedeng di lereng tak bertuan itu.
“Kami masak sendiri, kalau beli tidak kuatlah. Sehari kami dapat Rp 10.000 bersih itu sudah bagus. Saya dan teman-teman ini pulang seminggu sekali nengok anak istri sambil setor nafkah”, akunya.
Berbincang dengan Eman rasanya betah. Meski kenyataannya hidup susah tapi Eman tetap menuturkan sedu sedan sebagai pemulung tanpa mengeluh. Hidup ini perjuangan katanya. Anak harus sekolah dan rumah tangga harus harmonis meski kesulitan hidup menghimpit. Apalagi mulung tak perlu modal. Asal mau kerja keras hasil pasti dapat.
Masalah besar kecil pendapatan, menurut Eman tergantung orang mensyukurinya. Orang rezekinya masing-masing. Namun di kawasan Ciumbuleit kini banjir pemulung. Mereka datang dari Garut, Cianjur, dan daerah lainnya di Jawa Barat. Akhirnya penghasilan pun ikut menurun. Masa paceklik sampah datang di musim liburan kampus. Kata Eman, anak kos penyumbang sampah terbesar di Ciumbuleit.
“Yah, kita mah orang kecil harus akur. Sampah sedikit kita bagi-bagi, banyak ya kita ambil sama-sama. Jangan sampai kita ini sudah miskin terus berantem rebutan sampah. Malu atuh sama pak DPR”, kata Eman terkekeh.
Masih di kawasan elit Ciumbuleit, cerita pahit dituturkan Kang Cucu (37) yang menempati bedeng khusus pemulung dari Garut. Pemulung di Kang Cucu banyak dari anak-anak belasan tahun. Menurut Kang Cucu, semangat kerja anak-anak agak payah. Orang Jawa bilang angot-angotan.
“Barang lagi kosong, anak-anak pulang kampung semua. Sudah dua minggu saya nggak setor ke pabrik. Saya nerusi lapak teman, ternyata dia punya tunggakan utang Rp 4 juta. Saya jadinya yang dikejar-kejar”, keluh Kang Cucu kesal.
Dari cerita Kang Cucu, tak semua pemulung pekerja keras. Banyak dari mereka yang sekadar untuk cari rokok, setelah itu berhenti. Belum lagi ada juga pemulung yang nakal, utang pada pemilik lapak, lantas ditinggal pulang kampung. Akhirnya banyak juga pemilik lapak yang bangkrut.
Ada juga pemilik lapak yang sabar dan tangguh. Witarsa misalnya. Ia kerap dinakali para pemulung. Tetapi Witarsa tetap melayani pemulung itu dengan sabar. Meski modalnya diutang, Witarsa berprasangka baik bahwa mereka tidak akan berbuat, jika tidak karena miskin. Namun, pemulung yang rajin ada juga yang sampai bisa membeli sepeda motor.
Dunia pemulung memang komunitas yang berserak. Mereka yang terjun langsung di kantong-kantong sampah, ujung tombak yang nasibnya selalu kurang beruntung. Sebaliknya, para pemilik lapak dan cukong penampung sampah adalah mereka yang diuntungkan sebagai juragan.