Friday, April 20, 2007

Gang Sempit Kalimati


Fadhil sudah menginjak 10 tahun. Rambutnya merah oleh terik matahri. Kulitnya kulu-kulu, sorot matanya redup hampa tanpa sirat semangat. Hatinya makin tercabik acapkali berpapasan dengan anak-anak sekolah di jalan. Fadhil mengayunkan langkah kecilnya dengan lemah. Cemburunya merayu, mimpinya jauh, seperti apa dunia sekolah itu. Lupakan Dil… bisik batinnya menghibur.

Senin lalu, Fadhil tak seperti biasanya. Seorang bocah yang kadang liar, kadang lesu, dan sesekali usil. Hari itu ia riang. Ngomongnya nyerocos, ceplas ceplos dan ingin tahu. “Ini kamera ya bang. Coba foto aku bang, aku coba dong bang, aku belajar baca tadi bang”, begitulah kata-kata yang terus meluncur dari mulut jujur bocah itu.

Fadhil mulai punya aktivitas baru kini. Bersama teman-teman seumurnya yang bernasib sama, Fadhil punya tempat berteduh. Sarana yang menampung kemampuan anak-anak terabai sepeti Fadhil. Bangunan dua lanti bercat hijau yang dilengkapai fasilitas empat unit komputer dan dua mesin jahit itulah tempat Fadhil singgah. Namanya Rumah Singgah Anak. Berlokasi di tengan permukiman kumuh dan padat di Kampung Kalimati, Rawaterate, Cakung, Jakarta Timur.

Menurut Direktur Program Dompet Dhuafa, Kusnandar, Rumah Sahabat Anak sebagai sarana berteduh bagi anak-anak kurang mampu yang hidup di tempat-tempat kumuh dan padat.

“Tempat ini dimanfaatkan 200 lebih anak-anak. Mereka mayoritas anak-anak tidak sekolah dan putus sekolah. Mereka butuh ruang untuk bermain dan belajar. Juga perlu pendampingan dan pembekalan keterampilan. Mereka tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal karena keterbatasan ekonomi”, terang Kusnandar usai peresmian Rumah Sahabat Anak, Senin (16/4).

Pemandangan mengharukan terlihat saat Rina (14) yang belum pernah sekolah mampu membuat desain cover bulletin dengan program Photoshop. Tak tampak kekakuan gerak jemarinya dalam mengolah layout.

“Sebelum ada sanggar ini, aku sering mengisi hari-hari dengan membantu orang tua dan membuat baju-bajuan untuk boneka barbieku. Dulu aku hanya bermimpi pingin bisa main komputer. Sekarang angan-anganku terwujud, aku malah bisa membuat desain”, kata Rina.

“Walau aku tidak sekolah seperti anak-anak lainnya, tapi aku yakin akan jadi orag yang sukses suatu saat nanti”, imbuh putri pasangan Mutiati dan Mulyadi asal Kediri, Jawa Timur ini percaya diri.

Sejak Rumah Sahabat Anak ini dibuka, menurut Sahrozi, ketua Sanggar Puspita, belajar komputer banyak menarik minat anak-anak. Saking banyaknya peminat, Sahrozi membatasi program pelatihan komputer untuk sementara diutamakan buat anak-anak usia 11 sampai 18.

“Jumlah komputer baru ada empat, kalau tak dibatasi hasilnya nanti nggak maksimal. Sebagian lain anak-anak bisa belajar menjahit dan membuat souvenir. Hasil karya tangan anak-anak ini sudah mulai dipasarkan. Hasilnya juga buat membiayai kelangsungan pendidikan di sini”, kata Sahrozi sembari berharap ada donatur lain yang peduli.

Program lain yang meramaikan aktivitas di Rumah Sahabat Anak ini meliputi, kursus bahasa inggris, teater, musik, menari, dan fotografi. Sahrozi hanya berharap, aktivitas di rumah panggung yang sederhana ini, menjadi sarana anak-anak yang tak mampu mengenyam pendidikan memiliki gambaran masa depannya kelak.

“Bukankah setiap anak punya hak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan. Tetapi kemana itu akan kami cari. Semua ini hanya mimpi bukan?” celetuk Ranu (14) menyentak hati. Ranu sekadar menyuarakan jerit batin generasinya yang senasib.

No comments: