Friday, February 29, 2008

Kampung Unik di Tapal Kuda

Sawir, masih ingat kuat pada kebaik an seorang pria yang naik becaknya. Meski wajahnya tak mampu diingat detail, tapi kemuliaan hati orang itu menancap kuat. Kejadian itu, sudah satu tahun berlalu. Tiba-tiba, Rabu pagi l alu, ia mengingatnya kembali dan bercerita ikhwal kisahnya.


Sawir, dengan usia yang mulai lanjut, masih mengayuh becak di pusat kota Situbondo, Jawa Timur. Bapak lima anak berdarah Madura itu, mulai gelisah, setelah mangkal seharian hanya dapat Rp 4.000,-. Menjelang Magrib, seseorang menghampirinya untuk mengantar cari hotel. Akal bulus Sawir berbisik. Ia menawarkan jalur yang berputar kepada calon penumpangnya. Tujuannya, Sawir mau menggandakan ongkos. Jika jalur biasa cukup Rp 5.000,-, Sawir meminta penumpangnya membayar Rp 20.000,-. Sepakat, Sawir pun mengajak penumpangnya
berputar-putar menuju hotel yang dituju.Sampai di hotel, Sang Penumpang memberinya lembaran Rp 50.000,. Saat Sawir kebingungan tak punya kembalian, orang itu berucap, “Kembaliannya buat bapak saja. Terima kasih ya?”

Sawir hanya mengangguk, romannya bersalah. Ia terpukul telak. Hatinya berkecamuk, antara senang dan rasa bersalah. Sesampai di rumah, ia serahkan uang itu pada istrinya. Lumayan, Rp 50.000,- bisa untuk hidup cukup selama satu pekan. Tapi rasa bersalah itu, terus melekat. Ia telah memetik hikmah dari sebuah transaksi yang tidak jujur.

Ia mengurai kembali akal bulus itu, sembari duduk di pelataran bekas rumahnya yang hilang, dibawa arus banjir bandang yang melanda Situbondo, Sabtu (9/2). Rumah yang ia bangun dari peluh mengayuh becak, lenyap begitu saja. Barang dan perabotan juga tak tersisa. Diam diam, ia berbisik dalam hati. Mungkinkah akan terulang, kejadian Rp 50.000,- itu, pada nasibnya saat ini?

Kampong Kajegen

Selain rumah Sawir, terdapat 19 rumah warga yang hanyut dan 19 rumah rusak berat. Kampung Sliwung Utara, Desa Sliwung, Kecamatan Panji, Situbondo ini, memang berada di area bantaran Sungai Sampean. Pada 2002, banjir serupa juga menyapu tujuh rumah warga. Kejadian ini amat memukul, apalagi masyarakat di desa ini, hidup di bawah kemiskinan.

Mayoritas warga Sliwung Utara, bekerja sebagai tukang becak. Pekerjaan ini dilakoni, sambil menjadi buruh tani dan memelihara sapi titipan. Tingkat pendidikan rendah, rata rata lulus SD. Kesibukan orang tua untuk bertahan hidup, membuat kondisi pendidikan anak-anak memprihatinkan. Jangan terkejut, jika menjumpai anak umur delapan tahun, sudah paham aktivitas orang dewasa. Menikah muda, di bawah 17 tahun seperti bagian dari tradisi. Bahkan, seorang anak baru lulus SD, sudah siap untuk dinikahkan.

Sliwung yang 100 persen dihuni etnis Madura, memang unik. Desa ini, juga bagian dari wilayah yang kerap disebut daerah Tapal Kuda. Sungai Sampean menjadi tempat MCK. Warga bebas mandi di ruang terbuka tanpa penutup. Di seberang desa yang dibatasi sungai, sudah jadi rahasia umum sebagai area prostitusi gunung sampan. Kegemaran berjudi, bagian dari ritme kehidupan di desa, yang mengalami paceklik tiap musim kemarau itu.

Mushola, mesjid, dan pesantren juga melengkapi suasana desa. Seorang bandar judi terkenal di desa itu, bahkan yang paling taat menjalankan sholat lima waktu. Seorang yang dikenal sebagai maling ulung, juga menetap di desa ini. Dukun tersohor, yang dipercaya mampu membedah penyakit dalam tanpa operasi, juga seorang yang dituakan di Sliwung Utara.

Kepercayaan pada daya gaib sebilah keris, bagian dari keyakinan komunitas yang lebih patuh pada sosok Kyai ketimbang bupati ini. Seorang warga, bahkan menantang arus banjir tak bakal mampu menggeser rumahnya yang bermaterial kayu dan bambu. Karena sebilah keris dan rajah arab gundul dari Kyai, menempel di pintu rumahnya. Meski akhirnya, tak lebih dari lima menit, banjir merampas rumah itu hingga lenyap, dari mitos sakti Sang Keris.

Suwarno, seorang pendamping masyarakat di desa itu, mencemaskan, lima tahun lagi Sliwung Utara menjadi daerah merah total. Kecemasan lelaki berdarah Sampang itu, amat beralasan. Jika melihat taraf ekonomi dan profesi masyarakat yang aneh-aneh, kemungkinan menjadi kampung rawan tak terelakkan.

Wajar jika, ada rasa ciut di benak Iman Surahman, tim kemanusiaan Dompet Dhuafa Republika (DD), tatkala membuka posko di kampung yang lumpuh oleh banjir itu. DD dihadapkan pada kondisi karakter masyarakat yang keras. Sulit diajak diskusi, jika tanpa restu Kyai. Tapi dengan melebur tinggal bersama mereka, satu pekan kemudian, ruang diskusi bisa dicairkan.

“Bapak bapak dan ibu ibu, kalau kita mau dapat bantuan, mari rapikan posko dan sambut setiap tamu dengan ramah. Jangan diacungi clurit atau golok. Pak Sakerah sembunyi dulu,” kata Iman sembari bercanda. Warga pun terbahak bahak. Suasana cair, bantuan pun mengalir. Tiap orang dan lembaga yang menyalurkan bantuan ke dusun itu, mengaku amat terkesan.

Anggota DPRD, pejabat daerah, bupati, hingga camat silih berganti mengunjungi desa itu. Mereka melihat proses relokasi korban banjir ke tempat baru, yang dilakukan DD bersama warga. Dengan spirit “Kampong Kajegen” (kampung gotong royong), DD membangun 38 unit rumah berukuran 5 x 6 meter, di atas lahan desa 3150 meter persegi. Rumah terdiri dari material kayu, dinding gedhek, lantai semen, dan atap seng. Nilai satu unit rumah, Rp 3 juta.

Bisik hati Sawir yang tercenung di atas bekas rumahnya, pagi itu, seperti terjawab. Jika dibandingkan dengan rumahnya yang hilang, rumah sekarang, menurut Sawir jauh lebih baik. Sementara bagi DD, kampung komunitas semacam ini – bertumpu pada modal sosial masyarakat – sudah menjadi rutinitas program penangan bencana berbasis komunitas. Tujuannya, selain menyalurkan amanah donatur tepat dan strategis pada sasarannya, juga bagian dari transformasi value etos dan kemandirian masyarakat.

Tak lupa, dengan bahasa Maduranya, Sawir dan warga korban banjir di Sliwung Utara mengucap terima kasih. Sawir juga berjanji, tak akan jadi tukang becak yang berakal bulus. Matur kaso’on Cong”.

No comments: