Friday, February 15, 2008

Sastra Dalam Bus

“Kacang..kacang, tahu...tahu…seribu…seribu”. “Minumnya pak…, minumnya bu…”.

“Bapak-papak, ibu-ibu, Om dan Tante…mohon maaf kami pengamen jalanan mengganggu perjalanan Anda. Hanya demi sesuap nasi, bukan mencopet atau mencuri, kami harap jiwa-jiwa sosial Anda. Seribu, dua ribu uang Anda sangat berarti bagi kami.”

Salam Sastra…… kalau hidupmu tidak mudah, keras, penuh tekanan, kejam dan hampir-hampir kau tak tahu harus berbuat bagaimana, maka menulislah puisi….”, bait-bait puisi besutan Wiji Thukul terus meluncur dari bibir pengamen, di dalam bus jurusan Cikampek – Kampung Rambutan.

Hampir setiap hari, saya harus menempuh perjalanan ke kantor yang relatif panjang, karena saya tinggal di pinggiran Cikampek. Maka pentas sastra itu, sangat akrab di telinga saya. Terkadang saya jujur agak terganggu dengan sedu sedan itu. Selain gayanya tak jauh beda, dalam satu bus lebih dari lima pengamen bergantian tampil. Mereka selang seling dengan tukang tahu, tukang minuman, tukang buah, tukang mainan dan tukang-tukang lainnya. Kadang terbesit protes pada pemerintah, mengapa tidak mampu memberikan transportasi yang aman dan nyaman bagi rakyatnya.

Tapi di kala pikiran berkecamuk, dengan tetap berusaha menikmati aneka hiruk pikuk dalam bus itu, saya belajar beberapa hal. Pertama, rakyat kecil di tengah himpitan ekonomi yang berat, ternyata mempunyai daya tahan yang cukup kuat. Dengan segala kreatifitasnya, mereka mampu menciptakan lapangan kerja bagi dirinya, bahkan bagi orang lain. Setidaknya jika pengamen menyuguhkan lagu dengan serius dan pedagang menawarkan dagangan dengan ramah, dapat menjadi oase di tengah panas dan kemacetan.

Kedua, rakyat kecil dalam keterbatasannya ternyata mempunyai sikap kedermawanan yang tinggi. Saya termasuk orang yang pelit terhadap pengamen. Kalau lagu dan musiknya asal-asalan, hampir pasti saya tidak akan merogoh saku saya, kecuali karena kasihan atau takut dipalak. Tapi dalam setiap kali perjalanan saya, justru yang banyak memberi kepada pengamen dan pengemis jalanan, adalah orang-orang yang secara penampilan biasa saja.

Pernah suatu ketika, saya tidak tahan untuk tidak bertanya, kepada penumpang di sebelah saya. Mengapa ia selalu merogoh sakunya ketika ada yang mengamen. Bahkan ia selalu mengeluarkan Rp 1000,- untuk itu. “Mereka kan cari makan juga, seperti kita,” jawabnya sederhana seakan melecut hati saya. Ternyata, rakyat kecil punya logika sendiri. Mereka rela membagi agar orang lain juga makan. Sangat sederhana. Tapi melebihi jargon-jargon puitis politikus yang selalu indah terbungkus.

Mungkin, rakyat kecil hanya butuh yang sederhana saja. Yakni, tercukupinya kebutuhan dasarnya. Saya yakin, negara yang sebenarnya sangat kaya ini, suatu saat mampu memenuhinya. Namun, kalau pemerintah tak juga mampu, mungkin rakyatlah yang harus saling menyejahterakan, saling memberi dan mengatur dirinya sendiri.

lalu kami berbagi, kuberi ia kepalanya, batal nyawa melayang, aku hidup, ia hidup, kami sama-sama makan,…Sastra dalam bus itu, terus mengiang dalam pendengaranku. Melengkapi cerita orang-orang kecil di jalanan, yang bertahan hidup di Jakarta nan penat dan tak bersahabat.(Rini Suprihartanti)

No comments: