Monday, August 27, 2007

Etos di Kolong Jalan Tol

Geli mendengar kejujuran Ardi (29), yang berusaha melucu untuk mengurangi kekeluannya. Matanya nanar, melihat arang hitam, bekas puing rumah dan harta bendanya yang hangus terbakar. Setelah lebih dari sepuluh tahun tinggal di bawah jalan layang tol dalam kota, di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, jerih payah pedagang kelontong itu musnah begitu saja.

“Enak, di sini adem. Nggak banyak polusi”, katanya sembari berusaha terkekeh. Lelaki asal Solo itu, seperti memaksakan diri untuk terbahak.

Setelah sempat terbakar, 22 Mei lalu, kolong jalan tol yang didiami kurang lebih 500 gubug ini, kembali ludes terbakar pada, selasa (7/8), pukul 9.45. Banyak di antara korban yang tidak ada di tempat, saat kejadian. Akhirnya mayoritas harta benda di rumah tidak bisa diselamatkan.

Sepertihalnya Eli (47), warga asli Tanjung Priok yang sudah tak punya kampung halaman ini, saat kejadian tengah bekerja di pabrik garmen Manggadua. Mengetahui tempat tinggalnya musnah, ia gemetar. Nyaris pingsan. Tetapi, ia mengaku berusaha untuk bertahan. Ia masih ingat anak-anaknya yang selamat.

“Untung anak saya bisa nyelametin surat-surat dan ijazahnya. Biarlah semua habis asal ijazah anak-anak selamat. Insya Allah rezeki masih bisa dicari”, tutur Eli berusaha tegar.

Dalam banyak musibah bencana dan kebakaran, kebanyakan orang berpikir seperti Eli. Masih merasa beruntung jika nyawa masih di kandung badan dan kertas-kertas berharganya selamat. Orang seperti Eli meyakini, ijazah, misalnya, telah menjadi sebuah harapan. Semua boleh habis, tetapi harapan itu tak boleh mati, untuk menata kehidupan yang baru.

Tak seberuntung Eti, Wardi (41), hanya bisa menyelamatkan baju yang melekat di badannya. Lelaki asal Wonogiri yang sudah tujuh tahun menetap di kolong jalan tol itu, saat kejadian tengah kerja buruh di Kebunjeruk. Tatkala pulang, sepasang suami istri itu lunglai. Tidak ada yang tersisa. Nasib serupa juga dialami Susi (49), asal Demak yang bekerja sebagai pedagang sayur.

“Semua habis mas. Kerja dari jam tiga pagi nggak ada yang sisa sama sekali. Terus nyandi arep njaluk tulung (kemana mau minta tolong)”, kata Susi berkaca-kaca. Saat ini, bersama korban kebakaran lainnya, Susi tinggal di tenda-tenda darurat sekitar lokasi kebakaran.

Usai kebakaran ini, para korban sebenarnya tidak ingin terlarut-larut meratapi kesedihan. Mereka ingin segera membangun kembali tempat tinggalnya seperti dulu. Tetapi kebakaran hebat hari itu, telah merusak struktur bangunan jalan tol. Dinas Pekerjaan Umum, juga sudah memasang papan peringatan. Berisi larangan membangun kembali di atas lahan bekas kebakaran.

Mempercayai Orang Miskin

Kebakaran menjelang satu hari pesta demokrasi pemilihan gubernur DKI Jakarta itu, mengingatkan akan perjuangan orang-orang kecil menyiasati hidup. Jakarta, makin sesak, semrawut, dan liar. Jakarta, kejam, kata sebagian yang berputus asa. Jakarta, sorga, bagi yang beruntung nasibnya. Ia kota yang dicaci dan dicintai. Jakarta menebar pesona, sekaligus mala petaka.

Ini tanah Tohan. Gelitik seorang pendatang dari Jawa Timur. Bagi warga miskin, tanah Tuhan seakan memberi pembenaran untuk tidak menyia-nyiakan lahan kosong di Ibukota. Biaya hidup tinggi, mendorong orang di Jakarta untuk kreatif. Mulanya kardus sebagai dinding dan plastik bekas sebagai atap. Hari berganti bulan, tiba-tiba, gubug itu berubah jadi rumah permanen. Anehnya, dilengkapi sarana PLN dan jaringan telepon. Resmi, dari pemerintah setempat.

Tiba waktunya, lahan kosong yang tiba-tiba berpenghuni padat itu digusur. Atau tiba-tiba kebakaran. Tak pelak, konflik sosial pecah. Sebuah rumah tangga dan masa depan anak-anak tercerai berai karenanya. Mencari siapa bertanggung jawab, inilah yang sulit. Meski, UUD 45 yang dibanggakan itu, mengamanahkan orang miskin dan anak terlantar diurus oleh negara, naskahnya masih tetap rangkaian kata yang indah.

“Yang diamanahi UUD kan negara, bukan pemerintah to?” celetuk seorang pemangku jabatan suatu saat.

Selama ini, permukiman padat dan kumuh selalu dipandang sarang kerawanan sosial. Rumah bagi para kriminal dan sebagainya. Tetapi jika diintip dari celah kemanusiaan, komunitas ini dipenuhi orang-orang yang tak mau menyerah pada nasib.

Seperti mereka yang menghuni kolong jalan tol Pluit, tatkala kebakaran terjadi, mereka sebagian besar tak ada di rumah karena bekerja. Mereka kebanyakan bekerja di sektor informal sebagai pedagang kecil. Mereka juga hidup tidak membebani negara, apalagi merugikannya. Diurus atau tidak, hidup mereka tetap berlanjut.

Setelah musibah terjadi – penggusuran, kebakaran, dan pengusiran – memotong urat nadi kehidupan mereka yang tinggal di lahan kosong, kolong jembatan, dan kolong jalan tol. Mereka harus mengawali dari titik nol – biasanya tanpa bantuan pemerintah – untuk kembali merintis usahanya. Pada tahap inilah, mereka hanya punya semangat dan harapan. Muskil, jika pemerintah dan perbankan mau megucurkan pinjaman modal pada mereka. Karena orang miskin tak punya jaminan apa-apa, selain nyawanya.

Padahal, banyak orang miskin, dengan modal semangat dan harapan mampu membunuh kemiskinannya. Seperti halnya Ardi, Eli, dan Susi. Tetapi itu tak lama dan harus terampas oleh musibah. Kini, mereka dalam kemiskinan di titik nadir kembali. Mereka, kelompok orang-orang kecil yang punya etos tinggi. Tetapi tidak punya modal untuk membangun kembali usahanya yang telah jadi abu.

Maka, wejangan Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian 2006 asal Bangladesh, kepada Presiden SBY dan para pembantunya, pada selasa lalu, ibarat setitik embun di lautan padang pasir. Pejuang orang miskin itu, berwasiat agar perbankan Indonesia belajar mempercayai rakyat miskin. Tetapi, jika wasiat yang oleh Wakil Presiden, Yusuf Kalla, diakui sebagai pelajaran yang berharga itu, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, orang miskin di Indonesia akan tetap terpotong aksesnya untuk mencapai kesejahteraan. Ardi, Eli, dan Susi akan selamanya gigit jari, hidup di tengah bangsa yang bebal dan tak mau belajar.

No comments: