Usai Jepang tercabik-cabik, digempur sekutu pada perang dunia kedua, Kaisar Hirohito, kala itu tak mencari tahu berapa tentara tewas dan pertahanan apa yang tersisa. Pikiran tercepatnya, malah tertuju pada keingintahuannya, berapa guru yang masih hidup. Kaisar Hirohito, meyakini harta Jepang yang tersisa dalam hancur lebur perang itu, tinggal bulir-bulir ilmu pengetahuan yang tercecer di otak para guru yang masih hidup. Setelah semua ilmu pengetahuan dan peradaban yang dibangun Jepang, nyaris musnah.
Demikian pula, mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, yang kala itu masih menjabat senator, merasa geram tatkala Rusia menyalip kecanggihan teknologi negaranya. Rusia unggul lebih dahulu, setelah berhasil meluncurkan satelit pertama di dunia, Sputnik I, pada 4 Oktober 1957. Kennedy lantas melempar tanya pada bangsanya, “What's wrong with our classrooms?". Pertanyaan itupun seperti melecut bangsa AS untuk berbenah diri dalam menata pendidikan. Sepertihalnya, Kaisar Hirohito, John F Kennedy juga percaya, guru memegang simpul utama dalam perubahan kemajuan di Negeri Paman Sam.
“No teacher, no education”, demikian Presiden Vietnam, Ho Chi Minh menunjukkan kekagumannya pada peran guru. Pernyataan itupun, dijadikan pondasi pemerintahan Vietnam dalam membangun bangsa berbasis pendidikan, dengan peran guru sebagai intisarinya.
Negeri serumpun Malaysia dan negeri gigseng, Korea Selatan, juga meletakkan peran guru sebagai pilar membangun kemajuan bangsa. Kedua negara itu pun, dalam tempo 10 – 15 tahun melesat cepat sebagai negara makmur dan canggih dalam teknologi serta ilmu pengetahuan.
Pun, Indonesia juga sangat menghormati peran guru. Sebagaimana Presiden RI Soekarno pada 21 November 1945 menyatakan, bahwa guru bukan penghias alam, tetapi membentuk manusia. Bahkan, perjuangan guru Indonesia juga melegenda dalam “Guru pahlawan tanpa tanda jasa”. Tapi pahlawan itu, hingga kini masih memerankan tokoh dalam lakon “Oemar Bakrie”.
Guru di negara maju, berada pada top of mind para pemimpin dan masyarakatnya. Guru, sebagaiamana diungkapkan George Splinder (1983), sosok yang sangat strategis dalam perambat kebudayaan, proses akulturasi, dan penanaman nilai-nilai luhur suatu bangsa. Pun, guru dalam pandangan Islam berperan sebagai penyampai ilmu yang benar (mu’allim), pengembang proses pendidikan (murabbi), penitip pelajaran dan kemahiran (mudarris), pengajar budi pekerti (mu’adib), dan pembentuk jiwa kepemimpinan (mursyid).
Tetapi guru di negeri kita, adalah pahlawan yang terluka. Batin menjerit, jika mata boleh mengintip isi tas yang ditenteng “Oemar Bakrie” saat menuju tugas mengajar. Tas “Oemar Bakrie” berisi buntelan nasi, berbeda dengan guru di negara maju yang tasnya bersi laptop dan buku. Layak jika sebagian pihak meyakini, rendahnya penghargaan pada guru dalam bentuk mencukupi kesejahteraannya, dipicu sebagai faktor yang membuat gerak pendidikan Indonesia lambat seperti siput.
Guru Sukarela
Dalam serba keterbatasannya bangsa ini menghargai guru, tak sedikit orang yang tetap jalan lurus menekuni profesi ini. Digaji negara sebagai pegawai negeri, maupun relawan yang malah membiayai sekolah anak muridnya. Mereka tetap mendidik, lantaran geram melihat generasi bangsanya yang makin mundur ke belakang. Guru-guru tangguh itu, tersebar di berbagai pelosok tertinggal. Mereka memahat kebodohan, agar terbentuk generasi maju, di pulau-pulau terpencil yang terputus akses pendidikan.
Dia, Laode Ardin dan istrinya, Endang Salmiati. Sepasang suami istri yang hidup di komunitas tertinggal, Desa Watubangga, Baruga, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Laode, dalam serba keterbatasannya mendirikan sekolah gratis. Bukan karena ia kaya, tetapi ia gelisah sebagaimana Jhon F Kennedy dan Ho Chi Minh resah.
“Sesulit apapun kehidupan, kita bisa atasi jika kita punya bekal ilmu. Tetapi, anak-anak kurang mampu seperti di tempat kami yang pelosok ini terputus akses pengetahuannya. Hanya jika kita ikhlas untuk mengubah bangsa ini menjadi maju, ilmu secara suka rela bisa kita tularkan”, kata Laode Ardin Agustus lalu.
Laode mendirikan sekolah Tsanawiyah dan Ibtidaiyah, dengan 52 anak didik. Bangunan sekolah dari papan sederhana, didirikan dengan jerih payahnya sendiri. Dia mengajar bersama istrinya, hingga peluhnya membuahkan hasil, tatkala murid-muridnya lulus UAN 100 persen.
Guru-guru pilihan yang tak kalah gigihnya, sepertihalnya Zulfan. Ia generasi Banggai Kepulauan, yang memimpikan anak-anak Banggai menjadi bagian dari bangsa yang maju. Zulfan memperjuangkan berdirinya SMA Pertama di Mansamat, Tinangkung, Banggai. Meski sekolah yang dibangun Dompet Dhuafa ini akhirnya berdiri, para guru di sekolah itu tak sempat berpikir kesejahteraan dapurnya. Bukan lantaran tak ingin, mereka mengaku cukup terbayar, jika lima generasi Banggai kelak terentas dari kebodohan.
Di Flores, juga berdiri kukuh Sang Guru, Arifudin Anwar. Ia membangun sekolah gratis di kampungnya, Pulau Adonara, Kelu Bagolit, Flores Timur. Murid-murid di sekolah Arifudin, berasal dari pulau-pulau kecil, terpencil, bahkan sebagian tak ada dalam peta Indonesia. Mereka tinggal dan menetap di asrama sekolah yang sederhana, dari dinding bambu dan atap ilalang.
“Apa yang kami makan, itulah yang mereka makan. Jika persediaan beras kami habis, kami menggantinya dengan pisang. Apalagi di musim kemarau, kami akan mengalami masa-masa sulit. Tapi kami tak menyerah, anak-anak tetap semangat”, terang guru yang juga ustad itu. Kelangsungan pendidikan gratis di sekolahnya ditopang dari usahanya sebagai pedagang.
Kerja keras Laode Ardin, Zulfan, dan Arifudin serta sosok-sosok di belahan lain yang kita lupakan, mengingatkan kita pada perjuangan bangsa Jepang usai hancur lebur oleh bom atom. Meski gaji guru di Jepang kini mencapai 200 ribu Yen, sekitar Rp 16 juta per bulan, guru-guru di Jepang dulu juga pejuang tanpa gaji. Jika buah manis itu kini dipetik, itu hasil tanam seluruh masyarakat Jepang.
Di tengah kondisi bangsa yang belum mampu membuat lompatan dahsyat, kiranya kita perlu menanam benih bersama-sama. Kita bisa ciptakan ruang belajar di rumah, untuk sanak kerabat dan tetangga yang anak-anaknya terputus akses pendidikannya. Kita bisa menjadi guru, untuk mereka yang tidak sekolah. Selamat hari guru, tetap mengabdilah pahlawanku!
Saturday, November 24, 2007
Selamat Hari Guru
Monday, November 19, 2007
Demokrasi Mpok Manih
Mpok Manih berdebat hebat denga suaminya, Bang Sobur yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan. Ketegangan itu, dipicu ketertarikan Bang Sobur untuk ambil kredit motor. Penawaran DP murah, dari sebuah dealer membuat Sobur kepincut.
“Cuman Rp 700.000 Man DP nya. Ambil napa mumpung promosi”, rayu Sobur pada istrinya yang sehari-hari sebagai buruh cuci, dengan gaji Rp 250.000 pe bulan.
“Bukan nggak setuju Bang. Tapi tahu diri napa. Kalau gaji saya sama pendapatan abang digabung, kita tetap kagak bakal kuat bayar cicilannya bang. Memang tukang motor percaya apa sama kita”, kata Mpok Manih menolak.
“Lha, kan kalau nggak kerja abang bisa ngojek Man. Kalau syarat kredit kata sales bisa diakali tuh Man”, Sobur berkelit.
“Abang liat napa. Ngojek sekarang sepi, ntuh kemarin motor Asep sudah ditarik sama bengkel (dealer). Mending kita lurus aja bang, kita ini orang susah nggak perlu utang. Lagian kenapa kita diajari malsuin penghasilan segala. Kita nih udah miskin bang, harta kita tinggal jujur. Masuk neraka tau rasa nanti”, kata Mpok Manih menceramahi suaminya.
Sesaat Sobur terdiam. Tangannya garuk-garuk kepala. Obrolan sore hari, Rabu lalu, di serambi rumah sederhana Bang Sobur di Sukmajaya, Depok terlihat gayeng. Ada dua kubu pendukung keduanya. Bang Sobur didukung sales dan para suami yang juga berprofesi sama dengan dirinya. Demikian pula Mpok Manih, mendapatkan dukungan para istri yang kebanyakan sebagai buruh cuci.
“Ambil aja Bur, nanti kalau ada motor kan lumayan irit ongkos kalau kita lagi dapat proyek”, bisik Udin, tetangga belakang rumah Sobur memberi dukungan. Masuk akal.
“Eh! Bang Udin, nih udah sebulan suami kagak ada kerjaan. SPP anak-anak juga belum bayar tuh. Udah, kagak usah gaya-gayaan segala. Hidup apa adanya aja. Nggak makan saya ikhlas, asal tidak dikejar utang”, Mpok Manih bersikukuh.
Kali ini Sobur mati langkah. Sejak Ramadhan lalu, ia banyak ngangur di rumah. Apalagi musim hujan sudah turun. Itu artinya, satu profesi dia sebagai penggali sumur, libur untuk waktu yang lama. Kerja bangunan juga tidak selalu ada. Apalagi, kontraktor sekarang, banyak mendatangkan tukang bangunan dari daerah. Mau nekat ngojek, di Depok sudah banjir tukang ojek. Beruntung, ia menempati rumah warisan orang tua. Meski sempit, tapi tak perlu bayar kontrakan. Sementara nganggur, kebutuhan sehari-hari mengandalkan penghasilan dari istrinya.
“Iya deh, elu bener hari ini Man. Maaf deh Bang, lain kali aja kalau banyak rezeki ambil motornya yak”, kata Sobur sadar, sembari minta maaf pada sales motor yang hampir sejam menyaksikan perdebatan calon konsumennya itu.
Sales motor itupun melenggang pergi. Ia tampak agak kecewa, karena target yang nyaris membuahkan komisi, urung mengambil motor. Padahal, ia mendapatkan penghasilan dari itu. Sepanjang jalan, mungkin ia memikirkan untuk cari pekerjaan yang lain.
Baru-baru ini, Indonesia meraih “Medali Demokrasi” yang diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)—sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia—karena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Sebuah pertanyaan menggugat, apa peran demokrasi selama ini dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia?
Michael Ross, Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA), dalam laporan penelitiannya berjudul, “Is Democracy Good for the Poor?” mengatakan, pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum termiskin. Itu terjadi di 169 negara, dalam kurun 1070 – 2000.
Hal ini, mengingatkan email seorang teman dari Kuala Lumpur, Malaysia yang mengomentari tentang demokrasi dan kesejahteraan rakyat di Indonesia. Dalam penggalan emailnya ia menulis, “… jika kesejahteraan dan kemajuan Malaysia selama ini harus dibayar tanpa demokrasi, kami terima dengan senang hati”.
Entah untuk Indonesia. Apa wujud asli dari demokrasi itu. Apakah seperti perdebatan antara Bang Sobur dengan Mpok Manih. Atau demokasi itu, kedaulatan para elit wakil rakyat dan elit penguasa, yang kerap dipengaruhi para pemilik modal dan negara-negara asing. Di Indonesia, dagelan demokrasi, kadang kala tampil dalam wujud kebijakan Pemerintah yang disetujui para wakil rakyat, tetapi juga didemo oleh rakyatnya sendiri. Aneh.
Tetapi, jika demokrasi bisa ditunjukkan seperti demokrasi ala Bang Sobur dan Mpok Manih, barangkali demokrasi bisa mengurangi kemiskinan. Sebuah hasil diskusi yang menyelamatkan dapur rumah tangga dan mempertahankan kelangsungan pendidikan anak-anak. Juga demokrasi yang menjaga harga diri. Buah demokrasi sederhana, untuk mufakat tidak utang, karena dilandasi kesadaran pada kekuatan diri. Bukan demokrasi yang tampil beringas, di ajang Pilkada, saling sikut, anarkis, bahkan membunuh.
Sebagian orang, boleh bangga dengan medali demokrasi yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Pun, kita berhak cemas jika demokrasi malah menyuburkan korupsi, anarkisme, melunturkan nilai-nilai moral, bahkan makin menyuburkan kemiskinan.wallahualam. Read More......Mengubah Nasib Dengan Pijat
Sudah berkali-kali, Herman Buyung (40) memenuhi panggilan pihak sekolah lantaran anaknya belum melunasi biaya sekolah. Ia terjepit dilema, pilihan manakah yang harus diutamakan. Membayar kontrakan, memenuhi kebutuhan dapur, atau biaya sekolah anak. Tiga-tiganya buah simalakama, tidak hanya untuk menentukan, memenuhi salah satunya saja sungguh sulit.
“Kalian tidak boleh malu. Selama tidak diusir dari sekolah, tetap saja sekolah, nanti bapak yang akan temui kepala sekolah”, kata Herman pada empat anaknya menyemangati.
“Saya selalu ingatkan anak-anak. Kita boleh miskin tetapi pendidikan tak boleh berhenti. Sesulit apapun jalan yang harus ditempuh, saya akan tetap berjuang untuk membiayai anak-anak”, terang lelaki asal Solok, Sumatera Barat yang berprofesi sebagai tukang pijat keliling itu.
Sudah tujuh tahun, Herman Buyung menekuni profesinya sebagai tukang pijat keliling. Dengan mengendarai sepeda pancal, yang dipasang papan nama, Herman berputar dari perumahan ke perumahan. Dari jam sepuluh pagi ia berangkat, pulang ke kontrakannya di bilangan Cimanggis, Depok, bisa sampai jam empat jelang subuh.
Ia tak pernah mengeluh. Semangatnya meledak-ledak, acapkali bicara pendidikan dan masa depan anak-anaknya. Herman, selalu menanamkan pada anak-anaknya untuk hidup mandiri dan tidak gengsi. Tinggal di kontrakan yang sempit, tak boleh membuat anak-anaknya rendah diri.
“Ini masalah nasib dan ujian. Kita mau menyerah dan menjadi peminta-minta, atau kita bangkit dan bekerja keras. Alhamdulillah, anak-anak saya bisa memahami keadaan saya”, ungkap Herman yang juga pernah menjadi sopir angkot.
Selain memijat keliling, usai sholat subuh, Herman memanfaatkan waktu untuk bercocok tanam di lahan kosong dekat kontrakan. Lahan itu, ia tanami singkong dan ubi-ubian. Hasilnya lumayan untuk mengganjal kebutuhan dapur dan dibagi ke para tetangga. Demikian pula sang istri, juga membantu Herman dengan membuat susu kedelai.
Rizki Septian, anak kedua Herman yang duduk di bangu kelas tiga MTs Nadlatul Qoir, kebagian jualan susu kedelai itu. Jam satu siang, sepulang sekolah, Rizki berjalan kaki sembari memikul susu kedelai menuju ke perempatan lampu merah Gas Alam, Cimanggis. Jarak dari kontrakan ke Gas Alam lebih kurang empat kilo meter.
“Saya kasihan sebenarnya. Saya suruh naik angkot, katanya sayang uangnya pak, lumayan buat nambah biaya sekolah”, kata Herman yang kerap terharu melihat kegigihan putra putrinya.
Tak hanya Rizki yang gigih meringankan beban orang tuanya. Anak ketiga Herman yang duduk di bangku kelas satu di sebuah SMP swasta, juga turut membantu dengan jualan es lilin di SD Mekarsari. Demikian pula anak pertamanya, tak ada anak-anaknya yang berpangku tangan. Herman mengaku bangga dan bersyukur, memiliki anak-anak yang rajin dan taat pada agama. Apalagi, dari empat anaknya itu, semua masuk dalam peringkat sepuluh besar di sekolahnya.
Herman memang tak sempat sekolah. Ia berhenti di tengah jalan sampai kelas tiga sekolah dasar. Tetapi, ia mengisi kekurangannya itu dengan melahap berbagai macam buku bacaan, Koran, dan majalah. Dari membaca itulah, ia menyadari pentingnya pendidikan. Ia meyakini, dengan pendidikan kemiskinan yang melilitnya bisa terurai. Itulah mengapa ia terus berlelah-lelah siang dan malam.
Friday, November 16, 2007
Mengharap Perjuangan Zakat pada Indonesia?
Kami mengharapkan, Pemerintah Indonesia bisa mewakili negara-negara muslim di dunia untuk menyuarakan pentingnya penggalian sumber dana zakat, untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin. Prof Aluddin Zatari, Mufti Syria.
Para pengelola, praktisi, dan tokoh zakat Asia Tenggara, baru usai menghadiri perhelatan konferensi Zakat Asia Tenggara II, di Padang, Sumatera Barat. Sebelumnya, konferensi serupa diadakan untuk kali pertama Pada 2006, di Kula Lumpur, Malaysia. Di negeri Jiran itu, salah satu kesepakatan yang ditelurkan, terbentuknya Dewan Zakat Asia Tenggara (DZAT), sebagai organ penghubung institusi zakat dan masyarakat zakat di kawasan serumpun.
Dalam konferensi kedua ini, peserta berhasil mencetuskan tujuh rekomendasi. Dari tujuh butir rekomendasi itu, ada tiga butir yang istimewa untuk Indonesia sebagai tuan rumah. Yakni butir 4, 5, dan 6. Kelihatannya, amanah konferensi sangat berharap banyak, pada kebijakan pemerintah Indonesia pada masalah zakat. Harapan itu cukup relefan, mengingat Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar.
Bunyi dari tiga butir itu adalah: Butir 4, Perlu dikaji dan dipertimbangkan agar peran organ pemerintah yang mengatur masalah zakat dapat ditingkatkan kapasitasnya, baik dalam tingkatan Kementerian atau minimal Direktorat Jenderal. Butir 5, Meminta kepada pemerintah, DPR, organisasi zakat dan masyarakat luas mengusahakan dan memperjuangkan agar UU yang berkaitan dengan zakat dapat diamandemen/direvisi sehingga zakat berperan secara maksimal sebagai sumber dana pembangunan umat. Butir 6, Meminta kepada Pemerintah dan DPR agar zakat dapat/boleh mengurangi Pajak/Cukai.
Pembacaan rekomendasi di hadapan puluhan wartawan itu, disuarakan oleh Direktur Zakat, Departemen Agama, Nasrun Harun. Juga didampingi Staf Ahli Menteri Agama, Tulus, dan Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), KH Didin Hafidhuddin. Wali Kota Padang, Fauzi Bahar selaku tuan rumah yang menggelar event internasional itu, turut pula tampil dalam pembacaan rekomendasi. Suasana bersejarah itu, disaksikan oleh perwakilan negara-negara peserta. Malaysia, Australia, Jerman, dan Syria.
Bagi gerakan zakat di tanah air, tiga butir dalam rekomendasi itu sebuah dukungan besar pada masa depan zakat Indonesia. Rekomendasi yang lahir dari sebuah konferensi antar negara, mestinya mempunyai taji untuk mempengaruhi kebijakan. Setidaknya pihak-pihak terkait mendengarkan, mempertimbangkan, untuk kemudian memutuskan.
Melihat, gegap gempitanya helat zakat di ranah minang hari itu, para pejuang zakat, masyarakat, dan mustahik pastinya menunggu kelanjutan tujuh rekomendasi itu, penuh harap dan hati berdebar. Tujuh rekomendasi itu, sebagaimana ditegaskan Nasrun Harun, akan disampaikan dalam pertemuan Menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura atau MABIMS. Hasil dari pertemuan itulah, yang nantinya dapat menjawab realisasi dari tujuh rekomendasi hasil Konferensi Zakat Asia Tenggara II.
Harapkan Indonesia
Dalam sejarah perzakatan dunia di abad ini, konferensi zakat menjadi babak baru dalam ranah gerakan menanggulangi kemiskinan. Nilai-nilai dan peran strategis zakat, dalam kehidupan sosial dibahas dan ditinjau dari berbagai sisi. Masing-masing perwakilan negara peserta memaparkan, bagaimana zakat dihimpun dan diatur dalam pendayagunaannya. Catatan penting yang layak menjadi cermin bagi Indonesia, keberhasilan penghimpunan zakat di negeri tetangga tak lepas dari peran aktif dan keterlibatan langsung dari pemerintahnya.
Sebagaimana diakui Ketua Pusat Pungutan Zakat (PPZ) Malaysia Dato’ Haji Mustafa Abdul Rahman, laju penghimpunan zakat yang tumbuh pesat di Malaysia karena peran penuh dari pemerintah. “Pada masa sekarang ini di Malaysia, pengelolaan zakat mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Pada akhirnya, pemerintah memang harus ikut menangani persoalan zakat. Sebab muaranya pada keputusan, dan kebijakan yang memang harus bersumber dari pemerintah”, ungkap Mustafa.
Maka, dukungan Malaysia atas lahirnya tujuh rekomendasi, yang tiga diantaranya spesial buat Indonesia, menjadi amunisi untuk gerakan zakat di tanah air. Negara-negara serumpun mendukung, agar pemerintah Indonesia mengambil peran lebih pada permasalahan zakat tingkat dunia. Jika Indonesia berhasil menjadikan zakat sebagai instrumen mengurangi kemiskinan, negeri ini sebagaimana diungkapkan perwakilan Syria, menjadi barometer negara-negara di dunia.
“Kami mengharapkan, Pemerintah Indonesia bisa mewakili negara-negara muslim di dunia untuk menyuarakan pentingnya penggalian sumber dana zakat, untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin”, kata Prof Aluddin Zatari. Ia seorang mufti berpengaruh di Syiria, yang datang sebagai utusan resmi negaranya.
Aluddin Zatari juga mengungkapkan, zakat menjadi instrumen netral bagi negara-negara mampu untuk membantu negara-negara miskin. Karena saat ini, negara-negara miskin justru menjadi sapi perah bagi negara-negara kaya.
“Semua lembaga internasional terus berupaya untuk menghilangkan angka kemiskinan ini, mereka tidak mampu melakukannya. Yang bisa dilakukan hanyalah memberikan bantuan kepada negara-negara miskin dari negara-negara kaya. Sayangnya, bantuan dari negara-negara kaya kepada negara-negara miskin disertai dengan persyaratan politis”, tandas Zatari.
Sangat masuk akal, jika akhirnya zakat menjadi instrumen yang netral dan adil dalam mengurangi kemiskinan lintas negara. Zakat diberikan orang kaya pada orang miskin tanpa ada syarat sedikitpun. Ia, mengandungi keberkahan, ketulusan, dan keikhlasan. Bahkan Mufti Syria itu, meminta Indonesia memimpin dan membawa resolusi zakat sebagai instrumen membantu negara-negara miskin, ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pun, perwakilan dari Jerman juga berharap lebih pada Indonesia untuk perjuangan zakat ini. Mereka meyakini, jika Indonesia mampu memerankan zakat secara maksimal sebagai instrumen mengurangi kemiskinan, mereka yakin, Indonesia akan menjadi contoh bagi dunia Islam.
Kiranya, tak dapat dielak lagi. Perkembangan zakat di Indonesia telah menjadi sorotan dunia. Negara lain berharap, agar negeri ini mampu melahirkan model dan nilai-nilai zakat yang kelak menjadi tonggak peradaban zakat dunia. Sebagai negara yang dipandang mampu oleh bangsa lain, kepercayaan ini kita ambil sebagai tantangan atau kita abaikan.
"Kampanye" di Tengah Bencana
Gunung Kelud, tengah hajatan besar. Para tamunya dari rakyat jelata, para menteri, hingga presiden. Geliatnya menyedot perhatian publik dalam negeri dan luar negeri. Gunung yang tak seorang pun tahu, kapan pastinya mbledos (meletus) itu, telah menghadirkan bermacam ramalan. Juga menjadi ajang perjumpaan, antara rakyat dengan pemimpinnya.
Ibarat pertunjukan, Gunung Kelud menjadi pasar malam yang menghadirkan rupa-rupa hiburan. Warga lereng Kelud, seakan diberi kebebasan memilih pertunjukan-pertunjukkan yang disajikan para tamu yang hadir meramaikan hajatan Gunung Kelud. Ini, saat yang tepat untuk jualan di pasar malam. Karena, pasar malam salah satu hiburan murah bagi rakyat kecil, pengunjungnya banyak, dan lugu-lugu. Meminjam istilah Tukul, ndeso dan katro.
Seorang ibu yang tinggal di area ring satu, dalam status awas Kelud, pernah ngumpet ke dalam kebun tebu karena enggan dievakuasi “paksa”. Ia menolak diungsikan karena meyakini apa yang disebut tanda-tanda alam belum muncul. Wanita berusia 50 tahun itu, sudah belajar banyak tanda-tanda Gunung Kelud mau meletus.
“Tidak perlu dipekso-pekso (dipaksa-paksa), kalau sudah waktunya saya juga ngusi (mengungsi)”, katanya.
Menurut ibu empat anak itu, biasanya evakuasi mendadak dilakukan tidak hanya karena status gunung meningkat, melainkan jika akan ada kunjungan tokoh dan pejabat. Perempuan yang sehari-hari berladang di area lereng Kelud itu, seakan tahu ia menjadi bagian dari hajatan Gunung Kelud. Nanti setelah sang pejabat pulang, warga di pengungsian kembali ke rumah masing-masing.
“Saya sering melihat di setiap bencana, warga sering dipaksa memenuhi pengungsian untuk menyambut pejabat. Kedatangan mereka sering merepotkan para korban. Alih-alih membantu malah bikin susah. Setelah itu pengungsian sepi kembali”, kata Rahman, seorang relawan kemanusiaan yang malang melintang di berbagai bencana alam.
Ungkapan ini, sekadar prasangka kecil. Bisa benar, dapat pula hanya kesimpulan sederhana yang dibuat warga biasa. Terlepas akurat dan tidak, tak ada salahnya, utak atik pikiran mereka memperluas cakrawala kita, dalam melihat aktivitas kemanusiaan di kancah bencana. Tetapi kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keselamatan jiwa warganya, adalah langkah tepat dan hati-hati.
Akhir-akhir ini, seperti telah membudaya, Presiden dan menteri bermalam bersama para pengungsi. Di berbagai titik lokasi bencana. Para pejabat seakan ingin ikut merasakan, dinginnya angin malam menusuk kulit. Panas dan pengabnya di dalam tenda yang dipanggang terik matahari. Dan antrean kamar kecil yang bau. Menahan tekanan isi perut, yang menyiksa tatkala pengungsi menunggu giliran kamar kecil.
Penderitaan kecil dari bagian penderitaan berat korban bencana alam ini, ingin pula dicicipi para pemimpin negeri ini dengan tinggal bersama pengungsi. Mungkin mereka berniat, dengan merasakan hancurnya batin korban Lumpur Lapindo, pedihnya korban gempa Bengkulu, dan cemasnya warga lereng Kelud, dapat membagi empati. Lebih dari itu, menjadi inspirasi untuk memutuskan kebijakan tepat dan strategis apa yang bakal diterapkan.
Bahasa lebih tegasnya, menyidak langsung apakah aparat terbawah telah menjadi kepanjangan tangan dalam mengurus rakyat dengan baik dan manusiawi. Meski, fakta lapangan yang ditemukan, birokrasi tingkat bawah kerap tak berani jujur apa adanya pada pusat. Ini pula yang mungkin menyebabkan, sebuah kebijakan diputuskan secara kurang tepat dan ragu-ragu.
Derita korban bencana, adalah bagian dari derita rakyat yang lain. Penderitaan masyarakat kecil yang tidak kalah mengerikan, yakni kemiskinan. Makin hari kesulitan hidup rakyat kian berat, lapangan kerja sulit, usaha kecil kerap tercabik, dan kesenjangan sosial terus meningkat. Ini sudah rahasia umum, tinggal bagaimana pemangku jabatan di negeri ini menjadikannya ajang “kampanye” kepedulian. Ketimbang melulu “kampanye” di area bencana.
Menurunkan standar hidup dan menikmati sebatas kebutuhan, bisa jadi ajang kampanye yang mulia. Itu bisa menjadi contoh dan budaya yang dapat diteladani setiap warga negara. Pejabat berlaku sederhana, amanah, dan jujur, itu juga kampanye yang tak perlu biaya. Gratis dan selamat dunia akhirat.
Jika kesehajaan ini menjadi ruhnya, popularitas sejati akan membahana dengan sendirinya. Pemimpin pun mampu merebut hati rakyat secara tulus. Rakyat hidup punya mata angin, kemana perjalanan diarahkan. Ucapan pemimpin didengar dan perintahnya ditaati. Karena ia memimpin dengan hati, ketulusan, dan keikhlasan. Tak kemaruk langgengnya jabatan, melainkan perjuangan apa yang telah ia persembahkan untuk rakyat dan bangsanya selama memimpin.
Gerakan Anti Kemiskinan
Kemiskinan adalah buatan manusia. Untuk itu, kita sebagai umat manusia harus bisa melawan dan mengikisnya lewat aksi kemanusiaan melawan kemiskinan. Nelson Mandela
Hari Rabu, 17 Oktober 2007, jutaan warga dunia memperingati Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia (International Day of Poverty Eradication). Pemandangan yang membahagiakan, juga tampak di wajah-wajah sebagian warga kota-kota besar di Indonesia, yang terlibat memperingatinya. Di Jakarta, peringatan ini bahkan dilakukan dengan beragam acara yang meriah. Sejumlah band dan artis penyanyi hingga foto model, ikut menyuarakan “Berpihaklah pada orang miskin!”.
Meski suka cita dalam tajuk “antikemiskinan” itu berlansung meriah, semua sepakat, kemiskinan bukan sebatas jargon yang dikampanyekan. Kemiskinan, mestinya juga bukan lagi pilihan kata untuk menjadi naskah dakwah antikemiskinan agar puitis. Kumpulan kata yang tak pernah lepas, tatkala khotip menyampaikan kutbah di mimbar-mimbar Idul Fitri. Agar jamaah berhati peduli, nuraninya hidup dan empati pada kaum miskin di hari lebaran.
Antikemiskinan, juga bukan sekadar kata ampuh yang mudah diucap pejabat dan petinggi negeri ini dari podium ke podium. Antikemiskinan, bentuknya bukan sebatas seruan memikat, dalam orasi di panggung-panggung kampanye politik. Karena, seiring kecerdasan kaum miskin, jargon-jargon itu telah usang dan basi. Gerakan antikemiskinan harus mewujud dalam tindakan nyata, yang mendukung kaum miskin untuk bangkit mandiri.
Maka, tanpa mengurangi kesalutan dalam eforia peringatan hari antikemiskinan tahun ini, gerakan apakah yang layak kita persembahkan pada warga miskin Indonesia. Tidak bisakah, sebagai pertanda kristalisasi gerakan antikemiskinan itu, dibuatkan sarana publik gratis untuk warga miskin, misalnya. Meskipun, masalah kemiskinan di belahan dunia mana pun menjadi tanggung jawab negara, alangkah nyatanya jika kelompok warga mampu turut berperan langsung di dalamnya.
Buatan Manusia
Kemiskinan, tatkala ia dipandang sebagai aib, tidaklah lahir dengan sendirinya. Kemiskinan tumbuh subur melalui proses ketidakadilan yang dibuat manusia. Situasi sosial, politik, ekomi, dan budaya yang tidak berpihak pada kaum miskin, menjadi salah satu pemicu utama mengakarnya kemiskinan itu.
Nelson Mandela, sosok yang kerap mewakili bangsa-bangsa Afrika sebagai simbol kemiskinan, pernah mengatakan, “Kemiskinan adalah buatan manusia. Untuk itu, kita sebagai umat manusia harus bisa melawan dan mengikisnya lewat aksi kemanusiaan melawan kemiskinan”.
Seruan tokoh Afrika Selatan itu, di Indonesia seperti menemukan kebenarannya. Kemiskinan di Indonesia, salah satu penyebab utamanya lemahnya keberpihakan pengelola negara ini pada rakyat. Realita yang jelas, tiap kebijakan publik yang ditetapkan negara, selalu saja tidak berpihak pada rakyat miskin. Kebijakan yang ditelorkan selalu saja lebih mengakomodir kepentingan elit dan segelintir orang.
Lantas, dalam ketimpangan ini, beberapa pihak malah menyalahkan orang miskin di Indonesia yang cenderung malas. Selalu tergantung pada orang lain dan tak mau berusaha. Asumsi ini, bisa benar, dapat pula kurang tepat. Jika kita mau berhitung dengan adil, sungguhkah rakyat jelata di negeri ini membebani negara? Bukankah dengan segala keterbatasannya, mereka mampu menghidupi dirinya sendiri.
Jika kita menjejak dari Sabang sampai Merauke, maka kita akan temui rakyat kecil di Indonesia yang harmoni dalam serba kekurangannya. Di Nusa Tenggara Timur misalnya, kawasan ini setiap tahun menjadi kawasan yang selalu paceklik. Warganya kurang gizi dan larang pangan. Tetapi apakah mereka bertingkah, laiknya politikus kehilangan kursi? Sebaliknya, tatkala kenyamanan mengganggu kelompok menengah ke atas, yang terjadi justru keguncangan nasional.
Sikap rakyat kecil yang tidak neko-neko ini, sebagaimana dibenarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah beberapa hari memanfaatkan suasana lebaran ini dengan berinteraksi bersama rakyat biasa, Presiden menemukan kejujuran rakyat kecil itu. Presiden mengaku, kini saatnya pemerintah memperhatikan rakyat kecil. Diakui presiden, selama ini pemerintah telah memberikan perhatian lebih pada konglomerat.
“Rakyat kecil itu tidak aneh-aneh. Karena itu harus kita bantu agar adil”, kata Presiden. Pernyataan ini, mestinya bukan permainan kata semata. Karena diucap oleh pemimpin negara. Harusnya ugkapan itu, menjadi keputusan yang bersifat nasional dan mengakar hingga birokrasi paling gurem. Intinya, gerakan keberpihakkan pada rakyat kecil, bisa jadi ujung tombak pemberantasan kemiskinan di Indonesia.
Agar gerakan antikemiskinan ini tak tumpul menjadi jargon, kinilah saatnya presiden mengeraskan sikap keberpihakannya itu. Karena, ketiadaan pangan di meja makan terkait dengan lemahnya keberpihakkan pada rakyat kecil. Mereka yang kelaparan hidup di pinggiran kota dan pelosok desa miskin, jauh dari pusat kekuasaan, liputan media dan pengetahuan masyarakat yang mampu. Bagaimana orang-orang kaya tahu ada tetangganya yang tidur dengan perut kosong, sedang mereka memilih hidup bertetangga dengan sesama orang kaya dalam lingkungan perumahan mewah yang dibatasi tembok tinggi?
Parahnya, jika toh bantuan mengalir, uang mengalir, ratusan ton bahan pangan berdatangan, mereka yang kelaparan tetap tidak memperolehnya. Dipotong ditengah jalan oleh korupsi dan penyalah gunaan wewenang. Bantuan berakhir di pasar gelap dan habis untuk poya-poya segelintir orang.
Hari antikemiskinan kali ini, juga mengingatkan kita pada cara melihat orang miskin, sebagaimana wasiat Rasulullah saw: Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berjalan ke sana sini meminta-minta kepada manusia, kemudian diberikan dengan sesuap dua makanan dan sebiji dua buah kurma.
Keteladanan Pemimpin Kampung
“Selesaikan rumah warga dulu, saya belakangan saja”, perintah Hamdan (50), Kepala Dusun Penyangkak, Bengkulu Utara pada warganya. Tidak hanya tempat tinggal yang minta dibuat paling akhir, bantuan kemanusiaanpun ia selalu utamakan masyarakatnya terlebih dahulu.
Bukan berarti Hamdan tidak menjadi korban gempa Bengkulu, Rabu (12/9) lalu. Rumah kepala dusun itu juga luluh lantak. Sebagaimana korban gempa yang lain, Hamdan bersama istri dan tiga anaknya juga tinggal di bawah tenda. Terpal biru yang ia dapat juga terpal terakhir. Ia mengambil setelah memastikan warganya sudah berteduh sementara di bawah tenda.
“Dia masih keponakan saya, tolong pengurus posko saja yang memutuskan”, pesannya suatu saat ketika mendistribusikan sembako.
“Jangan bayari papan itu pak. Karena dia adik saya, apa nanti kata warga. Lebih baik bapak pakai papan warga saja”, larang Hamdan halus, pada seorang relawan yang hendak memakai papan untuk tiang posko.
Tiga minggu kenal lebih dekat dengan putra Rejang itu (salah satu suku di Bengkulu Utara), banyak hikmah yang bisa dipetik. Meski hanya lulus sekolah dasar, ia menjiwai betul intisari dari memimpin masyarakat. Ia mengikat keluarga dan sanak saudaranya dari fitnah. Ia pula, berusaha menahan penderitaan lebih lama dari derita yang dialami warganya. Hamdan, akan mengambil paling terakhir. Itupun jika sisa.
Pada saat, sebagian warga korban gempa di sepanjang jalur Lais hingga Muko Muko mempersempit jalan dengan meminta-minta bantuan pakai kardus, Hamdan melarang keras warganya melakukan itu.
“Kalau rezeki kita, pasti tidak kemana. Jangan memaksa orang membantu dengan mengiba-iba. Apalagi memaksa, kemana harga diri kita. Bukannya mereka mau membantu malah segan berhenti memberikan bantuan”, terangnya.
Buah dari kesabaran itu, berdampak pada suasana Dusun Penyangkak yang tenang dan teratur. Meski 90 persen rumah di dusun itu hancur total, warga tidak terpancing untuk bertindak anarkis.
“Kita tidak perlu marah pada pemerintah dan bupati. Bukan mereka yang membuat gempa ini. Biar saja, kita urus masalah kita sendiri. Kedatangan pejabat juga tidak menyelesaikan masalah, malah bisa-bisa menambah masalah. Kita tunggu dengan sabar bantuan pemerintah, sambil kita berusaha bangkit sendiri”, wasiat bijak Hamdan pada suatu rapat di hadapan warganya.
Suatu hari, posko Dompet Dhuafa yang dipimpin Hamdan kebanjiran bantuan. Semua warga Penyangkak sudah mendapat lebih dari cukup. Tetapi Hamdan tidak menghedaki warganya aji mumpung. Maka atas persetujuan dari warga, bantuan yang berlebih itu didistribusikan ke desa-desa lain. Ia memimpin sendiri pendistribusian bantuan itu hingga ke Serangai – perjalanan satu jam dari Penyangkak.
“Kami sudah dapat lebih dari cukup hingga lebaran nanti. Saudara kami di desa lain belum tentu mendapat keberkahan sebesar ini. Semoga ini bermanfaat untuk warga bapak”, kata Hamdan pada tokoh Desa Kembang Manis, Lais.
Dua hari lalu, pada sore hari, di depan posko, Hamdan termenung. Matanya tampak basah. “Saya sedih juga gembira. Saya membayangkan kami akan merayakan lebaran ini di tenda. Tetapi ini sungguh karunia Allah, saya seolah tidak percaya jika hari ini semua warga saya sudah masuk ke rumah kembali. Kami bisa menikmati lebaran nanti sebagaimana tahun lalu. Kami tidak lagi di tenda seperti korban gempa yang lain”, ungkap Hamdan menyuarakan hatinya.
Pergulatan Mas Picis
Membayangkan Budi Ribut Maruto, pada tahun 1990-an, sosok yang seram dan menakutkan. Temperamennya keras. Kehidupannya di jalanan membawa lelaki yang lebih dikenal sebagai “Mas Picis” ini, pada dunia yang penuh jejak-jejak suram.
Arek Suroboyo itu, mulai menjejakkan petualangannya di Jakarta pada 1984. Kawasan Pluit, menjadi petualangan liar Mas Picis. Jika menyibak helai-helai kehidupannya tempo dulu, Mas Picis merasa malu. Tetapi, ia menyadari duri-duri tajam petualangan dunia preman itu, menghadirkan hikmah dan pelajaran lain dalam hidupnya.
Dari Pluit, Mas Picis mengepakkan sayap perjalanannya ke Pasar Senen pada 1986. Di kawasan Senen, Mas Picis sosok yang ditakuti, tapi kini disegani. Dia mengaku, Senen tempat kegilaannya dulu. Sampai akhirnya pada 2000, Mas Picis dapat petunjuk dari Allah untuk kembali ke jalan-Nya.
Hal ini bermula, tatkala Mas Picis sedang mencari orang pintar untuk melancarkan usahanya. Tak banyak syarat yang diajukan orang itu ke Mas Picis. Ia hanya disuruh pulang ke kampungnya, untuk ziarah ke makam orang tuanya dan minta ampunan pada Allah.
Sepulang dari ziarah, Mas Picis luruh, takluk di bawah keagungan Sang Pencipta. Kegarangannya dulu leleh, menjadi sikap arif dan bijak. Temperamennya yang kasar, menjadi lembut acapkali mendekati komunitasnya.
Setelah kembali ke jalan Illahi, bukan berati Mas Picis hengkang dari Senen. Ia merasa punya tugas untuk mengajak teman-temannya dulu, kembali ke rumah Allah. Maka, ia mulai membuka pengajian bagi komunitas jalanan, pedagang, pengamen, preman, dan sebagainya di bilangan Gor Planet Senen.
“Saya tahu bagaimana perasaan mereka yang kadang ingin menemukan tempat kembali. Tetapi itu tidak cukup dengan khotbah dan ceramah. Mereka perlu ditemani, disentuh dengan hati, dan dipandang sama sebagaimana manusia lainnya”, terang Mas Picis.
Dengan segala daya, Mas Picis mulai merintis pengajian di tengah semrawutnya kehidupan di Pasar Senen. Agar, dakwahnya lebih strategis, ia merogoh tabungan yang dimilikinya untuk membangun Saung di depan Gor Planet Senen. Tempat yang diberi nama Saung Galing itu, khusus untuk Mas Picis membina komunitasnya. Untuk sholat, ke masjid di dalam Pasar Senen. Waktu sore hari, Saung Galing tempat untuk ngaji anak-anak para pedagang, pengamen, dan anak-anak jalanan lainnya. Malam harinya, giliran orang dewasa yang memanfaatkan saung itu untuk belajar agama.
Belum setahun, Saung itu diramaikan oleh pengajian, Senin (27/8), jam 10 malam Saung Galing dibongkar Trantib. Seiring penataan kawasan Senen agar lebih rapi. Tahu, Saung dibongkar, Mas Picis tak meradang. Ia sepenuhnya mendukung program Pemda. Tetapi meski di trotoar jalan, Mas Picis tetap akan mengajak komunitasnya pada jalan hidup yang lurus. Hanya satu yang agak mengganjal, jika saja ia tahu Saung akan dibongkar, ia mau membongkar sendiri saung itu agar dapat dimanfaatkan di tempat lain. Apalagi, Mas Picis masih punya tunggakan pinjaman untuk membangun saung itu.
Menilik masa lalu, Mas Picis ingin pergulatan hidupnya berakhir dengan kebaikan. Ia, juga tak ingin masa lalunya menimpa generasi muda sekarang. Mas Picis, akan tetap berjuang menemani, mendampingi, dan menuntun orang-orang yang tersesat ke tujuan yang hakiki. Mas Picis kini, menyentuh segala persoalan hidup dengan iman dan hati bersih. Read More......Panggung Zakat Untuk SBY
Bukan perhelatan penuh gebyar-gebyar. Hanya peresmian sederhana yang sarat makna, karena dibingkai dalam suasana Ramadhan. Tetapi kesehajaan itu menjadi penting, lantaran para pucuk pimpinan negeri ini hadir dalam dunia kaum dhuafa sesungguhnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Yusuf Kalla, Ketua MPR dan Wakil Ketua MPR, Menteri Kesehatan, Menkokesra, Gubernur DKI, ulama, dan para tokoh masyarakat, hadir dalam perhelatan zakat, pada peresmian Rumah Sehat Masjid Agung Sunda Kelapa, Jumat, (14/9).
Rumah Sehat, sebuah layanan kesehatan gratis yang mengadopsi pengelolaannya dari klinik 24 jam, Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa. LKC, sekaligus sebagai yang diberi tanggungjawab mengelola Rumah Sehat itu. Pembiayaan atas pembangunan dan operasionalnya, menggunakan dana zakat dan wakaf. Karena zakat menjadi pondasi terwujudnya fasilitas kesehatan gratis bagi kaum fakir miskin itulah, kehadiran Presiden SBY dirasakan amat istimewa.
Hingga Presiden SBY, merasa perlu untuk meresmikan Rumah Sehat ini, tegas-tegas mengangkat harkat zakat. Selama ini zakat selalu terpinggirkan. Hanya 2.5%, kecil dan selalu diminta-minta. Penerima zakat juga fakir miskin. Sama sekali tidak elit. Karenanya gema zakat hanya di surau kecil. Yang jika diberdayakan, cenderung berupa santunan sembako. Mungkin juga beasiswa sekian ribu rupiah atau hanya untuk sunatan massal. Sebelumnya sebagian praktisi zakat juga kalah pede dengan pegiat LSM.
Empat Poin dari SBY
Kini, dengan presiden melihat langsung peran zakat yang dikelola lembaga, harusnya masa depan zakat lebih cerah. Kehadiran Presiden, juga sebagai pengakuan pemimpin negara pada publik. Bahwa zakat, salah satu instrumen ekonomi umat yang dahsyat. Dalam sambutannya, ada empat poin penting yang layak dicatat menyangkut zakat di tanah air, menurut SBY.
Pertama. Presiden SBY, dengan tegas menghimbau masyarakat muslim Indonesia untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah. Presiden meyakini, jika semua orang mampu dan kaya di Indonesia menunaikan zakatnya, maka akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteran rakyat Indonesia.
Presiden juga memahami zakat dalam makna batiniahnya. Bahwa, dengan membayar zakat, menurut SBY, hati akan lebih damai dan tenteram. Keyakinan ini, sebelumnya baru ungkapan yang kerap melecut para pejuang zakat di tanah air. Jika kini presiden juga meyakini, ini sebuah amunisi yang bakal memperkuat masa depan zakat di Indonesia.
Kedua. Presiden SBY, meyambut gembira pengelolaan zakat, infak, dan sedekah melalui lembaga. Karena, melalui lembaga yang punya kredibilitas, zakat dapat dikelola secara profesional dan dimanfaatkan secara tepat dan strategis. Dengan demikian, lembaga zakat, baik yang dibentuk pemerintah maupun swasta (masyarakat), ditantang untuk makin kreatif dalam menghimpun dan mendayagunakan zakat.
Ungkapan Presiden ini, sebuah advokasi yang baik bagi masyarakat. Artinya, kalangan berpunya dalam istilah SBY menyebut orang kaya, tidak lagi tergoda untuk mengelola sendiri zakat pribadinya. Ia sendiri, pernah memberi teladan dengan mempercayakan zakatnya melalui lembaga. Pada Ramadhan 2006 lalu, di Istana negara, Presiden SBY menunaikan zakat pribadinya melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Saat menunaikan zakat, SBY menegaskan, zakatnya berasal dari gaji sebagai presiden. Sungguh ini peristiwa langka. Di saat umat masih berwacana bahwa tak ada zakat profesi, SBY seolah menandaskan bahwa; Zakat saya adalah zakat profesi.
Ketiga. Zakat dalam pandangan SBY, juga sebagai solusi efektif dalam menjalin hubungan antara kalangan berpunya dengan fakir miskin. Zakat menjadi jembatan antara keduanya. “Apa yang akan kita resmikan hari ini, adalah contoh nyata pendekatan yang positif, pendekatan yang sehat. Membangun jembatan daripada mempertentangkan, membikin jarak. Tapi dengan jembatan itu, mari kita ketuk hatinya, kita dorong mereka-mereka untuk lebih dermawan”, kata Presiden.
Maka, ia tak segan menyampaikan terima kasih dan penghargaan pada masyarakat Indonesia, yang telah mempercayakan amanah zakatnya melalui lembaga.
Keempat. Nilai penting dari peran zakat di Indonesia yang penghimpunannya masih sedikit, telah dipercayai Presiden SBY sebagai peran yang telah nyata-nyata membantu program pemerintah. Kepercayaan ini tentu mahal. Di tengah tuduhan “utopis”, jika zakat mampu mendorong fakir miskin untuk berdaya, SBY percaya akan kekuatan zakat.
Presiden juga secara lugas mengakui, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam mengatasi masalah kemiskinan di tanah air. Meski terus meningkatkan jumlah anggaran, namun dalam pelaksanaan program di lapangan, kerap belum maksimal. Di sinilah peran lembaga masyarakat diperlukan.
“Program yang dilakukan atas inisiatif masyarakat itu ternyata sangat membantu, sangat meringankan beban, bagi mereka yang memerlukan dan sebagai pendamping dan pendukung dari program-program yang dilaksanakan pemerintah”, tandas SBY.
Pertanyaannya kini, setelah Presiden mempercayai peran efektif lembaga masyarakat itu, bagaimana selanjutnya ia melahirkan kebijakan sinergi dalam setiap program antara lembaga zakat misalnya, dengan pemerintah. Apa yang dilakukan BAZNAS dengan Dompet Dhuafa dalam membuat program, sebenarnya belum mewakili kebijakan kerjasama pemerintah dengan masyarakat. Karena dana yang dikelola BAZNAS bukan dana APBN, melainkan zakat masyarakat. Itu artinya, pemerintah tidak dapat lagi memandang sebelah mata pada keberadaan dan peran BAZNAS.
Sambutan Presiden SBY dalam peresmian Rumah Sehat, jumat lalu, dapat dikata penuh advokasi terhadap dunia zakat di tanah air. Terutama menyangkut peran zakat yang dikelola melalui lembaga. Ini sebuah keberpihakan baru, dalam ranah zakat Indonesia. Hanya, dukungan Presiden SBY atas usulan zakat sebagai pengurang pajak, yang pernah disampaikan saat menunaikan zakat di Istana negara tahun lalu, hingga kini masih sebatas wacana.
Padahal, Erie Sudewo, salah satu tokoh zakat Indonesia dan juga pengurus BAZNAS yang ikut hadir saat SBY bayar zakat di Istana, pernah mencatat ungkapan itu dalam tulisannya. Di akhir pertemuan, SBY mendukung usulan zakat jadi pengurang pajak. Menteri Agama, Menteri Sosial dan Menteri Keuangan diminta membahasnya. “Jangan lupa, tim BAZNAS juga harus turut serta”. Tulis Eri Sudewo setahun lalu. Read More......Tuesday, November 06, 2007
Jakarta Tanpa Warga Kecil
Bagaimana jika sehari saja Jakarta tanpa pengemis, pengasong, pemulung, dan pedagang kecil yang memadati trotoar di jalan-jalan jantung ibukota? Bajaj dan kendaraan sejenis yang dianggap mengganggu pemandangan, juga tak seliweran? Sebagian orang setuju, inilah wajah Indonesia yang sejahtera dan aman. Mungkin juga, sebagian orang akan mengklaim, Indonesia telah berhasil mengatasi kemiskinan. Karena, wajah Jakarta adalah juga wajah Indonesia.
Hal ini, terkait dengan sikap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
DKI Jakarta, yang menyetujui rancangan peraturan daerah Ketertiban Umum
untuk kemudian disahkan menjadi perda yang berlaku di seluruh wilayah
DKI Jakarta, pada Senin (10/9).
Dalam raperda tersebut, pada Pasal 40 disebutkan penduduk dilarang
menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil di
tempat umum. Bagi pelaku dan mereka yang memberikan uang terancam
denda Rp100.000 sampai Rp 20 juta atau kurungan dua bulan. Para pedagang juga dilarang berjualan di trotoar atau kawasan yang dilarang sebagai kawasan larangan berdagang. Juga ada larangan angkutan umum jenis bajaj dan bemo dengan mesin dua tak.
Membayangkan Jakarta tanpa dilengkapi kehidupan orang-orang kecil, bisa indah bagi semua orang. Jika saja, penghapusan wajah suram itu bukan sandiwara. Jika saja, pelenyapan orang-orang kecil di jalanan itu memang menempatkan mereka pada taraf hidup cukup. Bukan dengan pengusiran, kekerasan, dan cara tak beradab hanya untuk menutupi malu, bahwa memang banyak orang miskin di Ibukota.
Ini, memang masalah selera dari pengelola bangsa ini. Mau jujur menampakkan wajah aslinya, atau mau sembunyi di balik kedok yang memalukan. Mau melayani rakyatnya, atau memuaskan selera para elitnya.
Andai, sehari saja Jakarta tanpa denyut jantung orang kecil, jantung siapa yang akan adem ayem tak diganggu pengamen di perempatan lampu merah. Andai, sehari saja Jakarta tanpa bajaj dan kendaraan yang suaranya memekakkan telinga itu, mobil siapa yang akan aman bersaing sesama mobil mewah. Ini juga masalah selera. Ironisnya, rakyat kecil dipandang seakan tak punya lagi selera untuk juga menikmati hidup layak.
Jakarta, memang harus aman dan nyaman. Tetapi, juga keniscayaan jika kota ini diserbu para pendatang. Karena di Ibukota inilah pusat uang berputar. Banyak pekerjaan yang dianggap menjanjikan. Jakarta menjadi magnet bagi para perantau untuk megadu nasib. Mereka yang sudah lelah ditempa kemiskinan di desa asalnya. Jakarta, menjadi tempat menjemput harapan dan impian.
Andai saja, Jakarta tanpa pengasong, pusat-pusat perbelanjaan dan mal akan menjadi satu-satunya pusat bisnis yang tak tertandingi. Jika saja pedagang di trotoar tak menjajakan dagangan untuk pembeli kelas gurem, seperti sopir, pengojek, penumpang angkot, pemakai kereta api, kuli, dan pejalan kaki, maka untuk membeli segelas air minum, kita harus merogoh kocek lumayan mahal, masuk ke restoran cepat saji. Siapa pula pada posisi ini yang diuntungkan?
Berdagang di trotoar dan tempat-tempat umum selalu dianggap sebagai biang keladi kemacetan. Sebaliknya, pusat perbelanjaan yang berada di dalam persimpang jalan dan tempat-tempat padat, justru mendapat dukungan dan pengamanan dari penguasa. Menindas pada sisi yang lemah karena ketiadaan posisi tawar, sekaligus melayani pada yang kuat dan punya modal. Ini ironi yang makin menjadi.
Jika saja, sehari Jakarta tanpa orang kecil, ia akan menawan. Sekaligus terancam oleh kepungan kemiskinan dan dendam sosial yang berdampak pada kerawanan sosial, karena dampak pengangguran dari kebijakan itu. Oleh ulahnya sendiri, yang ingin bersolek sesaat dengan menjadikan korban orang-orang kecil.
Larangan Memberi
Raperda yang disetujui DRPD DKI itu, salah satunya juga larangan terhadap orang untuk memberi pada pengemis. Pada titik ini, sulit pikiran kita menalar bagaimana keran kebajikan ditutup. Bagi yang muslim, mestinya ini bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Sebagaimana nabi juga mencintai para fakir miskin.
Sudah menjadi bagian dari sunatullah, di dunia ini selalu ada kesenjangan. Kemiskinan itu ada, pada hakikatnya karena ada orang kaya, dan diperuntukkan bagi orang-orang miskin. Mereka terlihat baik dan buruk amalnya, dari caranya memperlakukan fakir dan miskin. Niscaya tidak akan ada arti dan maknanya, harta melimpah jika tidak ada orang-orang miskin.
Dari sudut keimanan, orang kaya memandang saudara-saudara mereka yang tidak beruntung sebagai berkah. Ladang baginya untuk menumpuk amal shaleh. Bukan sebaliknya, fakir-miskin dipandang sebagai lalat-lalat pengganggu.
Sikap yang indah ini, terlihat dalam pola interaksi Rasulullah dengan para sahabatanya yang mayoritas bekas budak, kalangan gembel yang lusuh penampilannya dan tidak nyaman aromanya.
Ketika Nabi masuk ke majelis, beliau memilih duduk dalam kelompok orang-orang miskin. Kerapkali Rasulullah berkata, "Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya."
Namun, Rasulullah juga telah bersabda: Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berjalan ke sana sini meminta-minta kepada manusia, kemudian diberikan dengan sesuap dua makanan dan sebiji dua buah kurma.
Para Sahabat bertanya: Kalau begitu siapakah orang miskin yang sebenarnya wahai Rasulullah? Nabi bersabda: Orang yang tidak mendapati kesenangan yang mencukupi buatnya, tetapi mereka tidak tahu karena kesabaran dia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain, dia akan diberikan sedekah tanpa dia meminta dari orang lain. (HR Bukhari, Muslim, Nasai).
Marjoko, Pemecah Batu
Marjoko melalui hari pertama puasa dengan tidak berlibur, dari pekerjaannya mencari batu. Ia bersama istrinya, tetap membiarkan badannya dibakar terik matahari, di lereng Gunung Wilis. Peluh terus meleleh, menguras tenaganya. Namun, Marjoko tak luluh. Ia tetap gagah, menghantamkan godam ke cadas batu yang keras. Perlahan, bongkahan batu itupun pecah.
“Kalau puasa begini istirahat jam 11. Nanti dilanjut lagi habis sholat dhuhur”, kata Marjoko terengah.
“Hidup di desa yang kering begini, tak ada pilihan kerja lagi. Kalau tidak mencari batu, keluarga tidak makan”, imbuh bapak empat anak yang kadang buruh nebang tebu hingga ke Lampung.
Desa Sanan, Ngetos, Kabupaten Nganjuk, salah satu desa tandus yang berada di lereng Gunung Wilis. Musim kemarau begini, lahan pertanian tidak dapat diolah. Sawah dan ladang hanya mengalami satu kali musim panen dalam setahun, dengan mengandalkan air tadah hujan. Hanya tanaman singkong yang masih bisa tumbuh.
“Warga di sini sehari-hari masih makan nasi tiwul (singkong). Kalau tidak makan tiwul, beras tidak mencukupi”, Marjoko menuturkan.
Saking gersangnya daerah itu, para suami dan para remajanya banyak yang merantau ke Surabaya. Sebagian besar, menjadi buruh bangunan dan pembantu rumah tangga. Marjoko sendiri, dua anak gadisnya juga berkerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya.
Puasa tak menghalangi Marjoko dan Sunarti, sang istri, untuk menjalani pekerjaan berat ini. Suami istri itu, mulai berangkat mencari batu pukul enam pagi. Satu truk batu, dibeli oleh pemborong seharga Rp 70.000. Dari jumlah itu, Marjoko, masih menyisihkan Rp 30.000, untuk pemilik tanah tempat batu digali. Pendapatan bersih yang ia peroleh tinggal Rp 40.000.
“Satu truk saya kumpulkan selama empat sampai lima hari. Kalau dihitung dari tenaga dan pendapatan ya ora sumbut (tidak sebading) mas. Tapi ya saya sudah bersyukur, habis mau bagaimana lagi”, tandasnya.
“Kadang yo ngutang lho mas nek mboten cekap. Nopo maleh wulan poso ngateniki rego-rego podho mundak (kadang berutang kalau tidak cukup. Apalagi bulan puasa harga-harga naik)”, Sunarti menimpali.
“Orang kecil seperti saya ini, yang diandalkan cuma otot sama keringet to mas. Mengandalkan jadi petani, lha wong sawah cuma setahun sekali. Lahan juga tidak luas”, imbuh Marjoko.
Siang itu, lereng Gunung Wilis panasnya amat menyengat. Sawah dan ladang rerumputannya menguning karena kering. Sumber air di belik-belik (kubangan tempat menampung air) milik kampung mulai mengecil. Pohon-pohon jati daunnya juga berguguran. Beruntung, sebagian masyarakat masih dapat memanen singkong. Bahan makanan pokok, yang sampai hari ini masih di konsumsi kebanyakan masyarakat lereng Wilis.
Marjoko, bagian dari tandusnya lereng itu di kala kemarau. Puasa hari pertama ia lalui dengan tetap bekerja keras. Puasa, tak meluluruhkan jiwanya untuk menyerah tidak mengangkat godam. Marjoko tetap memecahkan bongkahan-bongkahan batu dalam ujiaan panas dan dahaga. Puasa, telah dipahami Marjoko sebagai kewajiban yang harus dijalani. Dalam situasi dan kondisi apapun. Sedangkan memecah cadas-cadas bongkahan batu yang keras, bagian dari jihadnya menghidupi keluarganya.
Setetes Air Mengubah Peradaban
Terik matahari memanggang Dusun Wuluh, yang kering tatkala musim kemarau begini. Di dalam rumah, udara panas. Di luar rumah kulit seperti dijilat kobaran api. Sawah dan ladang yang semula hijau di musim air, berubah jadi menguning. Tumbuhan dan pohon yang tak tahan kering, mati. Debu berhamburan, acap sepeda ontel melintasi jalan-jalan desa. Di pekarangan rumah, anak-anak asyik bermain debu, membuat gunung-gunungan dengan air seni nya. Kemarau menjadikan kampung di desa Sidokumpul, Guntur, Demak, kering kerontang.
Khosim, salah seorang tokoh tua di Dusun Wuluh masih mengingat dengan baik. Betapa sengsaranya warga di desa itu, untuk mendapatkan setetes air. Bercucur peluh, bahkan ada yang berlaku curang. Sebuah sumur tua yang dikenal peninggalan Belanda – tetapi sebagian warga meyakini sumur peninggalan Ki Ageng Pandanaran – menjadi saksi bisu derita itu. Sumur tua, yang berada di ujung desa Gaji, sekitar satu kilo meter dari Dusun Wuluh, selalu padat oleh warga yang mencari air. Selama 24 jam, tak henti. Ada empat desa yang menjadikan air di dalam sumur tua itu sebagai sumber penghidupan. Sejak puluhan, mungkin juga ratusan tahun silam.
Khosim dan warga desa lain – laki-laki dan perempuan – akan mengawali mencari air sejak jam tiga pagi. Berjalan kaki menenteng jerigen dan menggendong kendil (tempat membawa air terbuat dari tanah liat). Mereka saling berburu untuk dapat lebih dahulu. Bayangan pagi yang dianggap sepi, nyatanya tetap ramai.
Untuk memperebutkan air itu, warga tidak mungkin antri. Siapa yang punya tenaga kuat bisa mendapatkan lebih dahulu. Jika menunggu giliran, urutan terakhir dipastikan tidak akan kebagian. Apalagi jika kemarau sedang mencapai puncaknya antara Juni – September, pemandangan warga mencari air amat memilukan.
“Kadang-kadang di antara warga juga curang. Saya pernah berebut menimba air, setelah ember saya penuh, pas saya tengok ke belakang, airnya sudah kosong ada yang mengambil”, kenang Khosim.
Bahkan, menurut Khosim, sampai ada yang nekat mencuri air di penampungan air milik warga.
“Kita sudah capek-capek nampung air di rumah, tiba-tiba air dicolong uwong (dicuri orang)”, kata ustad yang pernah mondok di Banyuwangi ini. Di Bumi Blambangan, Khosim bisa merasakan betapa segar mandi berlimpah air. Kemewahan yang tak pernah ia dapat sejak bayi.
Seiring waktu, masyarakat mulai kreatif mengakali kelangkaan air dengan berkelompok membuat sumur oglekan (sumur pompa). Meski air yang dihasilkan tak sejernih air dari sumur Belanda. Tetapi keberadaan sumur oglekan hanya bertahan di musim hujan saja. Setelah kemarau, sumur kering. Warga kembali lagi berebut air di sumur tua Belanda. Kali lain, warga memanfaatkan air di sungai yang membelah desa Sidokumpul dan Desa Gaji. Airnya keruh dan bau. Tetapi jika sumur tua Belanda kering, tetap saja air itu terasa segar.
Jika air di sungai sudah kering dan sumur tua tinggal tetesan embun, para kyai di desa itu segera menyerukan untuk Sholat Istisqo (sholat meminta hujan). Setiap satu tahun sekali, di daerah itu selalu dilakukan sholat meminta hujan. Apalagi, tidak hanya untuk hidup air itu dibutuhkan, sawah juga sudah saatnya ditanam padi.
“Saya pernah membayangkan, mungkinkah di desa ini akan ada air yang mancur dari keran. Orang tidak berebut air lagi. Sepulang dari sawah langsung mandi di sumur sendiri. Tidak rekoso nguber-uber (susah payah mengejar) cari air. Ning yo opo kiro-kiro biso (tetapi apa kira-kira mungkin)”, Khosim berharap sembari diwujudkan dalam doa di tiap akhir sholatnya.
Artetis
Sabtu, pukul 11 siang, 2 November 2002, di Masjid Baiturrahman, Dusun Wuluh, masyarakat dihebohkan timbulnya semburan air dari dalam tanah. Selama 24 jam, air terus menyembur dari kedalaman 125 meter, menggenangi selokan dan pekarangan rumah warga dan halaman masjid. Anak-anak yang biasa main debu, beramai-ramai koceh banyu (main air). Banyak orang terpana hari itu.
Setelah persis satu bulan, pengeboran air untuk program sumur artetis yang dibangun Dompet Dhuafa Republika (DD) berbuah hasil. Program yang digagas Ahyudin (kini Direktur ACT) itu, sempat membuat pesimis masyarakat akan berhasil. Dalam hitungan 30 hari, ejekan datang silih berganti.
“Sini aja dicoblos gak ada airnya, masak nyoblos sana lagi”, ejekan yang ramai berseliweran di telinga kala itu. Masyarakat juga mengeluhkan, betapa lamanya. Sudah tidak betah. Mereka seperti lupa, kakek buyutnya yang telah ratusan tahun mengalami sulit air.
Menurut Zarkoni, penanggung jawab sumur artetis, awal-awal pengeboran sumur mengalami tantangan yang luar biasa. Apalagi, program ini baru dan satu-satunya di Demak. Maka, semburan hari Sabtu itu, meluruhkan semua sakwa sangka. Semua terasa adem, sesejuk air yang keluar dari dalam bumi Demak.
Mulanya, hanya 60 KK yang memanfaatkan air dari sumur artetis ini. Kemudian berkembang sampai 225 KK. Paralon mengalirkan air ke rumah-rumah warga. Mimpi Khosim puluhan tahun lalu benar-benar terwujud. Hingga hari ini, di setiap depan rumah warga terdapat paralon lengkap dengan kerannya. Jangkauan air dari sumur itu sampai 1,5 kilo meter.
Perlahan-lahan, setiap warga membuat kamar mandi di dalam rumah. Tempat buang kotoran yang dulunya kakus, kini telah berganti jamban. Mengenang masa sulit dulu, Khosim tak mampu menyembunyikan keharuannya.
“Saya seperti bermimpi, bagaimana angan-angan saya dulu hari ini benar-benar terwujud”.
Keberadaan sumur artetis di Dusun Wuluh, telah mengubah pola hidup masyarakat desa itu. Masjid dan mushola yang semula tak ada tempat berwudhu, kini telah dilengkapi padasan dengan curah air yang kuat. Dusun Wuluh, seperti lahir dalam sebuah peradaban baru. Masyarakat bisa menanam bunga di halaman rumah. Para wanita mendapatkan martabatnya dan anak-anak terpenuhi unsur kesehatannya.
“Dulu mandi itu barang mewah, anak-anak tidak setiap hari mandi. Tapi, sekarang sejak bayi mereka sudah akrab dengan air”, kata Khosim haru.
Keberadaan sumur yang menghabiskan biaya Rp 49 juta itu, juga turut mendongkrak roda ekonomi masyarakat yang biasa paceklik di musim kemarau. Sulaiman misalnya, ia memanfaatkan air dari sumur artetis untuk membuat batu bata. Juga warga lain yang memanfaatkan untuk mengguyur tanaman, dikala musim kemarau seperti saat ini.
Setelah hampir lima tahun berlalu, pinggiran Demak yang kerap dilanda kekeringan telah dipenuhi banyak sumur artetis. Sumur artetis DD, diakui Zarkoni selalu dipakai studi banding desa-desa lain untuk membangun sumur yang sama. Kini setiap desa minimal punya satu sumur artetis. Bahkan sumur tua Belanda, juga telah berubah fungsi jadi sumur artetis. Tidak ada lagi keroyokan di bibir sumur untuk menimba air. Berganti paralon yang menjalar masuk ke rumah-rumah warga.