Tuesday, November 06, 2007

Marjoko, Pemecah Batu


Marjoko melalui hari pertama puasa dengan tidak berlibur, dari pekerjaannya mencari batu. Ia bersama istrinya, tetap membiarkan badannya dibakar terik matahari, di lereng Gunung Wilis. Peluh terus meleleh, menguras tenaganya. Namun, Marjoko tak luluh. Ia tetap gagah, menghantamkan godam ke cadas batu yang keras. Perlahan, bongkahan batu itupun pecah.

“Kalau puasa begini istirahat jam 11. Nanti dilanjut lagi habis sholat dhuhur”, kata Marjoko terengah.

“Hidup di desa yang kering begini, tak ada pilihan kerja lagi. Kalau tidak mencari batu, keluarga tidak makan”, imbuh bapak empat anak yang kadang buruh nebang tebu hingga ke Lampung.

Desa Sanan, Ngetos, Kabupaten Nganjuk, salah satu desa tandus yang berada di lereng Gunung Wilis. Musim kemarau begini, lahan pertanian tidak dapat diolah. Sawah dan ladang hanya mengalami satu kali musim panen dalam setahun, dengan mengandalkan air tadah hujan. Hanya tanaman singkong yang masih bisa tumbuh.

“Warga di sini sehari-hari masih makan nasi tiwul (singkong). Kalau tidak makan tiwul, beras tidak mencukupi”, Marjoko menuturkan.

Saking gersangnya daerah itu, para suami dan para remajanya banyak yang merantau ke Surabaya. Sebagian besar, menjadi buruh bangunan dan pembantu rumah tangga. Marjoko sendiri, dua anak gadisnya juga berkerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya.

Puasa tak menghalangi Marjoko dan Sunarti, sang istri, untuk menjalani pekerjaan berat ini. Suami istri itu, mulai berangkat mencari batu pukul enam pagi. Satu truk batu, dibeli oleh pemborong seharga Rp 70.000. Dari jumlah itu, Marjoko, masih menyisihkan Rp 30.000, untuk pemilik tanah tempat batu digali. Pendapatan bersih yang ia peroleh tinggal Rp 40.000.

“Satu truk saya kumpulkan selama empat sampai lima hari. Kalau dihitung dari tenaga dan pendapatan ya ora sumbut (tidak sebading) mas. Tapi ya saya sudah bersyukur, habis mau bagaimana lagi”, tandasnya.

“Kadang yo ngutang lho mas nek mboten cekap. Nopo maleh wulan poso ngateniki rego-rego podho mundak (kadang berutang kalau tidak cukup. Apalagi bulan puasa harga-harga naik)”, Sunarti menimpali.

“Orang kecil seperti saya ini, yang diandalkan cuma otot sama keringet to mas. Mengandalkan jadi petani, lha wong sawah cuma setahun sekali. Lahan juga tidak luas”, imbuh Marjoko.

Siang itu, lereng Gunung Wilis panasnya amat menyengat. Sawah dan ladang rerumputannya menguning karena kering. Sumber air di belik-belik (kubangan tempat menampung air) milik kampung mulai mengecil. Pohon-pohon jati daunnya juga berguguran. Beruntung, sebagian masyarakat masih dapat memanen singkong. Bahan makanan pokok, yang sampai hari ini masih di konsumsi kebanyakan masyarakat lereng Wilis.

Marjoko, bagian dari tandusnya lereng itu di kala kemarau. Puasa hari pertama ia lalui dengan tetap bekerja keras. Puasa, tak meluluruhkan jiwanya untuk menyerah tidak mengangkat godam. Marjoko tetap memecahkan bongkahan-bongkahan batu dalam ujiaan panas dan dahaga. Puasa, telah dipahami Marjoko sebagai kewajiban yang harus dijalani. Dalam situasi dan kondisi apapun. Sedangkan memecah cadas-cadas bongkahan batu yang keras, bagian dari jihadnya menghidupi keluarganya.

“Garis hidup saya ya seperti ini. Senajan kudu mikul watu (meski harus memikul batu), puasa itu sudah kewajiban yang harus dijalankan”, kata Marjoko yakin.

No comments: