Friday, November 16, 2007

"Kampanye" di Tengah Bencana


Gunung Kelud, tengah hajatan besar. Para tamunya dari rakyat jelata, para menteri, hingga presiden. Geliatnya menyedot perhatian publik dalam negeri dan luar negeri. Gunung yang tak seorang pun tahu, kapan pastinya mbledos (meletus) itu, telah menghadirkan bermacam ramalan. Juga menjadi ajang perjumpaan, antara rakyat dengan pemimpinnya.

Ibarat pertunjukan, Gunung Kelud menjadi pasar malam yang menghadirkan rupa-rupa hiburan. Warga lereng Kelud, seakan diberi kebebasan memilih pertunjukan-pertunjukkan yang disajikan para tamu yang hadir meramaikan hajatan Gunung Kelud. Ini, saat yang tepat untuk jualan di pasar malam. Karena, pasar malam salah satu hiburan murah bagi rakyat kecil, pengunjungnya banyak, dan lugu-lugu. Meminjam istilah Tukul, ndeso dan katro.

Seorang ibu yang tinggal di area ring satu, dalam status awas Kelud, pernah ngumpet ke dalam kebun tebu karena enggan dievakuasi “paksa”. Ia menolak diungsikan karena meyakini apa yang disebut tanda-tanda alam belum muncul. Wanita berusia 50 tahun itu, sudah belajar banyak tanda-tanda Gunung Kelud mau meletus.

“Tidak perlu dipekso-pekso (dipaksa-paksa), kalau sudah waktunya saya juga ngusi (mengungsi)”, katanya.

Menurut ibu empat anak itu, biasanya evakuasi mendadak dilakukan tidak hanya karena status gunung meningkat, melainkan jika akan ada kunjungan tokoh dan pejabat. Perempuan yang sehari-hari berladang di area lereng Kelud itu, seakan tahu ia menjadi bagian dari hajatan Gunung Kelud. Nanti setelah sang pejabat pulang, warga di pengungsian kembali ke rumah masing-masing.

“Saya sering melihat di setiap bencana, warga sering dipaksa memenuhi pengungsian untuk menyambut pejabat. Kedatangan mereka sering merepotkan para korban. Alih-alih membantu malah bikin susah. Setelah itu pengungsian sepi kembali”, kata Rahman, seorang relawan kemanusiaan yang malang melintang di berbagai bencana alam.

Ungkapan ini, sekadar prasangka kecil. Bisa benar, dapat pula hanya kesimpulan sederhana yang dibuat warga biasa. Terlepas akurat dan tidak, tak ada salahnya, utak atik pikiran mereka memperluas cakrawala kita, dalam melihat aktivitas kemanusiaan di kancah bencana. Tetapi kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keselamatan jiwa warganya, adalah langkah tepat dan hati-hati.

Akhir-akhir ini, seperti telah membudaya, Presiden dan menteri bermalam bersama para pengungsi. Di berbagai titik lokasi bencana. Para pejabat seakan ingin ikut merasakan, dinginnya angin malam menusuk kulit. Panas dan pengabnya di dalam tenda yang dipanggang terik matahari. Dan antrean kamar kecil yang bau. Menahan tekanan isi perut, yang menyiksa tatkala pengungsi menunggu giliran kamar kecil.

Penderitaan kecil dari bagian penderitaan berat korban bencana alam ini, ingin pula dicicipi para pemimpin negeri ini dengan tinggal bersama pengungsi. Mungkin mereka berniat, dengan merasakan hancurnya batin korban Lumpur Lapindo, pedihnya korban gempa Bengkulu, dan cemasnya warga lereng Kelud, dapat membagi empati. Lebih dari itu, menjadi inspirasi untuk memutuskan kebijakan tepat dan strategis apa yang bakal diterapkan.

Bahasa lebih tegasnya, menyidak langsung apakah aparat terbawah telah menjadi kepanjangan tangan dalam mengurus rakyat dengan baik dan manusiawi. Meski, fakta lapangan yang ditemukan, birokrasi tingkat bawah kerap tak berani jujur apa adanya pada pusat. Ini pula yang mungkin menyebabkan, sebuah kebijakan diputuskan secara kurang tepat dan ragu-ragu.

Derita korban bencana, adalah bagian dari derita rakyat yang lain. Penderitaan masyarakat kecil yang tidak kalah mengerikan, yakni kemiskinan. Makin hari kesulitan hidup rakyat kian berat, lapangan kerja sulit, usaha kecil kerap tercabik, dan kesenjangan sosial terus meningkat. Ini sudah rahasia umum, tinggal bagaimana pemangku jabatan di negeri ini menjadikannya ajang “kampanye” kepedulian. Ketimbang melulu “kampanye” di area bencana.

Menurunkan standar hidup dan menikmati sebatas kebutuhan, bisa jadi ajang kampanye yang mulia. Itu bisa menjadi contoh dan budaya yang dapat diteladani setiap warga negara. Pejabat berlaku sederhana, amanah, dan jujur, itu juga kampanye yang tak perlu biaya. Gratis dan selamat dunia akhirat.

Jika kesehajaan ini menjadi ruhnya, popularitas sejati akan membahana dengan sendirinya. Pemimpin pun mampu merebut hati rakyat secara tulus. Rakyat hidup punya mata angin, kemana perjalanan diarahkan. Ucapan pemimpin didengar dan perintahnya ditaati. Karena ia memimpin dengan hati, ketulusan, dan keikhlasan. Tak kemaruk langgengnya jabatan, melainkan perjuangan apa yang telah ia persembahkan untuk rakyat dan bangsanya selama memimpin.

Sungguh, kita malu, masyarakat tak lagi mendengar kata pemimpin. Kita juga malu, masyarakat lebih meyakini ramalan dan klenik, ketimbang rekomendasi para ahli akan prediksi bencana dengan kecanggihan teknologinya. Pun, kita juga sedih dan prihatin, jika area bencana menjadi ajang mendongkrak popularitas. Korban bencana itu telah hancur hidupnya, jangan ditambah sakit dengan janji dan basa basi.

1 comment:

Anonymous said...

--------------------------
°°°°°°°°°°°°|\ I
°°°°°°°°°°°°|_\
°°°°°°°°°°°°|__\
°°°°°°°°°°°°|___\
°°°°°°°°°°°°|____\
°°°°° °°°°°°°|_____\
°°°°°°°°°°°°|______\
°°°°°°______|_______________
~~~~\ ____________________/~~~~
,.-~*´¨¯¨`*•~-.¸,.-~*´¨¯¨`*•~-.¸,.-~*´¨¯¨`*•~-.¸,.-~* ¯´¨ ¨`*•~-.¸.. ....