Monday, February 12, 2007

Lumpuh oleh Kudeta Banjir


Jika di Thailand terjadi kudeta militer. Di Jakarta terjadi “kudeta” banjir. Luapan air sungai yang tak lagi tertampung, menguasai sudut-sudut perumahan miskin hingga kawasan elit. Dalam sepekan sarana vital di Ibukota lumpuh total. Denyut metropolitan mendadak berhenti berdetak. Sekali lagi, Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi menjadi sorotan mata dunia. Sebuah Ibukota yang hampir tiap tahun dikudeta oleh banjir.

Istana mendadak guncang. Presiden dan para pembantunya berembuk serius memutar akal bagaimana banjir bisa dikendalian. Tetapi banjir dengan keliarannya terlambat disambut. Banjir seakan lebih paham bagaimana cara memberi pelajaran telak . Pelajaran yang terus diulang tiap tahun lantaran saking bebalnya kita.

Langkah sigap pertama yang digelar bukan memanggul karung pasir untuk menahan air. Atau menggali parit pemecah serangan banjir. Seperti dalam sebuah film dokumenter, tatkala pemerintah Cina bersatu dengan militer dan rakyatnya menanggulangi banjir hebat.

Melainkan bersafari menengok luapan sungai dan rumah-rumah penduduk yang tinggal atap. Masuk ke dalam kubangan air keruh sembari menyapa tiap korban banjir yang ditemui. Berbagi senyum sebagai tanda peduli dengan sepenggal pesan, “Kita harus sabar”.

Banjir berlahan surut, safaripun berhenti. Hasil rapat panjang lebih dari tiga jam itu pun menguap. Semangat yang semula meledak-ledak mendadak surut ikut arus banjir menuju laut. Perbincangan tentang tata ruang kota kembali lengang. Hingga kini, solusi masih mandul belum mampu menelorkan cara tepat menangkal “kudeta” banjir yang akan terus terulang.

Jakarta banjir memang bukan hal baru. Kota ini dalam sejarah Jakarta sudah rutin jadi langganan banjir sejak jaman Belanda dulu. Struktur sebagian wilayah Jakarta yang berada di bawah permukaan laut, menjadikan kota ini begitu gampang diserang banjir.

Pahlawan Banjir

Ridwan Saidi, seorang Budayawan dan Tokoh Betawi menulis dalam judul artikelnya, “Banjir dan Tradisi Melayu Betawi”. Adalah seorang Kapitein Cina bernama Phoa Beng Gan yang benar-benar gelisah akan adanya banjir yang sewaktu-waktu melanda Jakarta. Dia adalah seorang ahli saluran air dari Tiongkok yang mulai menjabat Kapitein orang Cina. Di Batavia sejak tangal 4 Maret 1645 menggantikan Kapiten Lim Lak.

Gubernur Van Diemen (1636-1645) sebagaimana Gubernur sebelunnya tidak mengambil perduli terhadap persoalan banjir yang melanda Jakarta. Banjir makanan inlanders. Beng Gan sangat prihatin melihat air yang menggenangi rumah penduduk. Saban sore ia ajak sekretaris dan petani bangsa Cina berkeliling tempat dan membuat peta banjir.

Beng Gan lantas mengundang penduduk Cina untuk mengambil kata mufakat membangun saluran. Yang kaya menyumbang uang, sedangkan yang miskin menyumbang tenaga. Saluran air dibuat bergotong royong. Menurut Beng Gan, biang kerok banjir adalah tidak adanya saluran air ke laut. Tetapi, saluran yang baru dibuatnya ini ternyata berguna cuma di musim hujan. Penduduk bergembira jika musim hujan tiba, sebaliknya, jika musim panas datang, maka saluran buatan Beng Gan ini kering kerontang.

Beng Gan berpikir keras bagaimana memanfaatkan air kali Ciliwung yang mengalir melintas kampung Pejambon. Arusnya besar, tetapi sayang mengalir langsung ke laut dengan rute berbelok di daerah yang kemudian disebut Pasar Baru, Gunung Sari, sampai di Ancol, lalu bermuara ke laut. Dari tempat yang kelak bernama Harmoni, atau kampung Jaga Monyet, terus ke arah utara digali saluran air yang kemudian menjadi kali sodetan yang diberi nama Molenvliet atau Kali Penggilingan Obat Pasang.

Begitu proyek selesai, penduduk bukan main girangnya. Atas jasanya itu, Phoa Beng Gan yang oleh lidah Belanda disebut Bingam diberi persenan tanah di bilangan Tanah Abang. Beng Gan kemudian melebarkan kali Tanah Abang, di sekitar ini ia mendirikan tempat pembakaran kapur yang menjadi miliknya. Beng Gan adalah contoh orang berpangkat yang perduli dengan kesulitan yang dihadapi rakyat banyak. Demikian Ridwan Saidi menulis.

Hukum Mutlak Tegak

Jaman merambat cepat dan terus berubah. Beng Gan telah meninggal. Meski kita tak banyak tahu tentang pahlawan banjir ini, apa yang dilakukannya sarat semangat dan inspirasi. Terobosan berani yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam mencari solusi menyelamatkan rakyatnya. Dari sekadar berpikir dan terus berpikir cara mengatasi banjir.

Banjir 2007 ini, kita rasakan lebih luas sebaran dan korbannya dari 2002 lalu. Masyarakat miskin pun bangkrut oleh tragedi alam ini, yang oleh Menkokesra Aburizal Bakrie dikata banjir biasa. Atas asumsi, rakyat miskin korban banjir masih bisa tersenyum dan tertawa.

Banjir, ibarat “kudeta” alam yang tak terelakkan, selama kita terus melakukan perbuatan dhalim pada lingkungan hidup. Kudeta banjir akan terus terulang, tanpa aturan dan hukum yang tegak secara hakiki. Buang sampah dan limbah pabrik sembarang tempat mesti ditindak tegas. Mendirikan rumah di bantaran kali harus dilarang. Demikian pula pengusaha real estate yang mendirikan apartemen di atas tanah resapan air juga harus disiapkan tirai besi.

Pun sampai remeh temeh seperti menebang pohon tidak boleh dilakukan sembarangan kendati di pekarangan sendiri. Harus dengan tegas ditindak barang siapa yang menutup "setu", dan daerah resapan air lainnya, termasuk hutan lindung kota. Jakarta yang dibelah oleh 14 sungai juga sudah seharusnya membutuhkan manajemen pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang konsisten dan berkelanjutan.

Jika hukum tidak diberlakukan dengan tegas, tanpa pandang bulu, “kudeta” banjir akan datang lebih dahsyat. Jangan tunggu sejarah kelak mencatat, Ibukota Jakarta lenyap oleh “kudeta” banjir. Wallahu’alam

3 comments:

Ahmad Sahidah said...

Terima kasih, Mas. Cerita lain tentang banjir.

Ahmad Sahidah said...

Mas, boleh tidak saya minta kontak email? Terima kasih.

sunaryo adhiatmoko said...

Terima kasih atas apresiasinya. Asli Malaysia atau orang Indonesia yg dah mukim di sana hehe... Apa kabar Malysia hari ini. Setahun lalu saya juga sempat ke Kualalumpur seminggu. email saya: adhiatmoko@yahoo.com, ditunggu emailnya. Salam