Thursday, February 01, 2007

Surga yang Tergusur


Rel kereta api, kolong jembatan, tempat pembuangan sampah, dan bantaran kali, ibarat surga bagi yang tak berdaya. Ruang kosong tak bertuan itu amat berati sebagai istana. Tempat berteduh, beranak pinak, merancang hidup, dan menatah generasi. Nuansanya makin bestari di pusat Ibukota dan kota-kota besar di Indonesia. Apa gerangan yang membuat sebagian orang mencintai tempat-tempat sarat bahaya itu?

Rel kereta api. Tatkala kereta api melaju, tak ada yang dapat mengerem hingga tiba di stasiun berikutnya. Mobilpun diseruduk, apalagi seorang manusia yang lewat. Pasti tewas. Meski kesan ganas itu nyata, ada pula yang tak punya cemas. Lantaran, di jalur yang tiap saat dapat merenggut maut itu rezeki rasanya mudah dicari.

Layak, jika Tarmuji (50) betah mendiami rumah bedeng di bilangan Pasar Gaplok, Senen, Jakarta Pusat selama 17 tahun. Dalam kurun itu, ia mampu membiayai sekolah empat anaknya. Tarmuji menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL) di pinggiran rel kereta api yang jaraknya tak lebih dari 1 meter.

Lelaki asal semarang itu bertutur. Hidup dalam kondisi miskin harus pandai bersiasat. Agar dapat rezeki halal dan berkah. Tak perlu ada yang ditakuti, karena miskin itu sendiri sudah horor yang mengerikan. Jika terompet kereta sudah melengking dan moncong lokomotif mulai tampak, Tarmuji dan pedagang lain bergegas mundur. Tatkala kereta lewat, kembali ke posisi semula menjajakan dagangan.

Terus menerus taktik maju mundur itu dilakoni. Hingga akhirnya, Rabu (31/1) strategi Tarmuji benar-benar berhenti. Ia dan ratusan PKL lainnya tak dapat lagi maju dan mundur. Tak pula ia mampu berkelit menyaksikan gubuk dan lapaknya diobrak-abrik. Ia pun pasrah menyaksikan ladang surganya tergusur. Detak jarum jam Tarmuji seperti telah berhenti hari itu.

Merangkai nasib di antara rel kereta api tak kalah getir dengan merajut hidup di bawah kolong jembatan. Dengan modal kardus dan triplek bekas, dinding istana mulai dibangun. Jembatan berubah jadi atap teduh yang damai untuk sekadar tidur. Demikian pula di tempat pembuangan akhir sampah dan bantaran kali. Esok hari dengan karung dan gerobak penghuninya siap memulung sampah. Sebagian ada yang menadah tangan menjadi pengemis.

Dalam beberapa waktu, mereka yang kebanyakan kaum pendatang boleh merasa lega. Dapat tempat tinggal gratis seadanya. Tetapi, jantung kota tak boleh kotor. Haram rasanya jika tampak komunitas kumuh menyesaki kota. Keberadaan mereka bisa dicap sebagai sampah. Tak jauh beda dengan yang mereka pulung saban hari. Karenanya harus disapu dan dibersihkan. Maka relakan surga-surga itu digusur.

Memang, tempat-tempat rawan bahaya seperti rel kereta api dan bantaran kali selalu diincar kaum yang nekat. Kemiskinan akut biasanya mendorong mereka berani melawan apapun. Karena hanya keberanian dan kenekatan itulah yang tinggal tersemat di raga mereka. Tanpa itu, siapa yang berani bertanggung jawab mencukupi kebutuhan hidupnya. Toh pemerintah tak pernah menjamin.

Sebagaimana seorang menteri pernah bergurau dalam obrolan informal. “Yang diamanahkan menanggung hidup anak-anak terlantar dan fakir miskin sebagaimana isi UUD 45 itu kan negara, memang itu tugasnya. Kalau kami ini kan pemerintah”, kelakarnya polos seperti tanpa dosa.

Kita dipaksa mafhum. Kota sepertinya tidak ditata untuk orang-orang miskin tinggal. Tata kota mesti steril dari pemandangan-pemandangan kumuh. Jangan ada orang miskin mendekat apalagi tinggal. Pasar rakyat tak boleh menggelar dagangan di pusat kota. Tetapi keberadaan mal dan hypermarket menjadi wajib. Karena ia perlambang status masyarakat. Urusan adil dan keberpihakan? Itu cukup jadi peluru politik saat kampanye saja.

Maka, penggusuran demi penggusuran bak teater yang menyuguhkan kisah tentang rakyat kecil membantai sesamanya. Mata kita amat akrab melihat jerit tangis yang meronta-ronta dari orang-orang yang mempertahankan miliknya. Harta benda yang bertahun-tahun dikumpulkan dari perasan peluh, doa, dan air mata dalam sekejap musnah. Tidak karena bencana alam, melainkan oleh perampasan dan penindasan.

Satpol PP yang kerap jadi eksekutor itu tak pelak dimaki dan ditinju. Mereka yang hanya prajurit sesungguhnya sama-sama dalam posisi tidak berdaya. Sebagaimana, Suripto seorang Satpol PP DKI Jakarta berkisah. Ia kerap menangis dan memohon ampun dalam sholatnya. Tangisan dan rontaan nenek-nenek PKL di Pasar Minggu yang pernah ia obrak-abrik lapaknya masih membayangi hidupnya.

“Dia memegangi tangan saya. Menangis dan mohon ampun, tetapi instruksi harus dijalankan. Wajah nenek itu seperti wajah ibu saya di kampung. Saya terus merasa berdosa, siapa yang harus bertanggung jawab pada semua ini. Tetapi keluarga saya juga butuh hidup”, kisahnya mengenang kejadian dua tahun lalu.

Salahkan Suripto dan teman-temannya yang selalau garang saat di lapangan itu? Ada pembenaran yang kerap dipakai untuk menggusur surga orang-orang kecil itu. Pemerintah melakukan itu dengan klaim bahwa mereka berusaha menegakkan ketertiban umum, memindahkan pedagang yang tidak sah dari lahan milik pribadi maupun tanah negara, atau mengosongkan lahan untuk proyek-proyek infrastruktur.

Pada saat yang sama, pembangunan sarana perkotaan di Jakarta misalnya, lebih berat pada aspek formal, seperti membangun mal, plaza, dan hypermarket. Padahal, dalam beberapa hal, sebagian besar masyarakat menyukai bentuk jual beli yang ada di pinggir jalan. Ini terkait dengan kehidupan sosial budaya masyarakat kita sejak zaman dulu.

Sudah semestinya pemerintah sadar bahwa maraknya PKL di Jakarta karena secara fungsional mereka dibutuhkan. Banyak warga kelas menengah ke bawah yang membeli kebutuhannya dari PKL. Sementara banyak mal, plaza, atau hypermarket yang keberadaannya justru tidak disertai ruang bagi para PKL.

Bagaimanapun, rumah bedeng dan PKL telah menjadi surga bagi hidup rakyat kecil. Surga yang terus digusur dengan meninggalkan dendam sosial yang membara.

3 comments:

Anonymous said...

esai yg menarik, terus menulis bung

andri said...

satpol pp juga manusia, butuh makan dan butuh kerja....susah memang...

Bangsari said...

ya gimana orang ngga menyerbu jakarta, lha wong yang di bangun cuma jakarta saja je.

daerah lain seolah hanya daerah jajahan saja. lihat saja statistik, 80 % uang indonesia beredar di jakarta. anjrit!