Harga kebutuhan pokok bertahan naik. Pondasi dasar hidup rakyat ini terancam rapuh. Tiap kebutuhan pokok naik, maka melonjaklah harga-harga kebutuhan lainnya. Menanggapi kenaikan ini, terlihat pemerintah belum menerapkan percepatan langkah mengatasinya.
Sebaliknya, pemerintah sibuk mengirimkan utusannya survey ke daerah-daerah. Lagi-lagi keputusan yang selalu telat dan lambat. Tak lupa, beberapa menteri mendadak rajin menulis artikel menyangkut kenaikan bahan pokok ini. Mereka berusaha menjelaskan duduk persoalannya. Mengapa dan sebab apa bahan pokok ini naik.
Dari beberapa artikel yang dimuat di Koran nasional, terdapat sisipan pesan melaporkan peningkatan kinerja departemennya. “Agak promosi” memang. Tak ketinggalan, juga ditulis bagaimana konsep brilian menjaga ketahanan pangan di negeri ini. Meski nyatanya konsep ideal yang ditulis dalam artikel itu menguap begitu saja.
Bagi warga yang tinggal di Ibukota dan sekitarnya, seperak harga naik, dampaknya luar biasa. Mereka tidak dapat mengganti makan selain beras, jika harga beras melonjak. Tapi bagi warga pedesaan, tak mampu beli beras masih dapat merebus singkong atau ubi-ubian lainnya. Untuk sementara.
Tetapi, kearifan orang desa mengganti makanan selain beras ini, juga jangan dimaknai pemerintah sebagai hal yang biasa. Sebagaimana, Meteri Pertanian Anton Apriyantono, pernah menulis dalam artikelnya;
…Perubahan mind set atas pangan, seperti "belum makan sebelum makan nasi", persepsi terhadap tiwul, nasi aking, dan bahan pangan lain sebagai makanan orang miskin dan kelaparan, harus dilakukan. Media diharapkan berkontribusi positif dalam mendorong diversifikasi dan bukan menyudutkan pemerintah serta memperolok masyarakat yang makanan pokoknya bukan nasi. (Kompas,16/1).
"Belum makan sebelum makan nasi", bukan pemeo. Orang kaya dan terpelajar bisa saja menggantinya dengan roti dan makanan mewah sejenis. Tapi orang desa yang kerja keras, banting tulang, memeras keringat, dan mengandalkan fisik, nasi sungguh suplai kekuatan paling dahsyat. Menggantinya tidak mungkin, karena biaya untuk mengganti jauh lebih mahal ketimbang nasi itu sendiri.
Demikian pula orang miskin di perkotaan. Harga sebungkus roti tawar bisa mencapai Rp 5.000, lebih mahal ketimbang satu liter beras dengan kualitas sedang. Jika satu bungkus roti tawar, tak kenyang dimakan satu hari seorang diri, sebaliknya satu liter beras bisa dimakan empat orang dengan tiga kali makan. Jadi, makan nasi bagaimanapun tetap pilihan paling ideal untuk orang miskin.
Sementara tentang tiwul dan nasi aking, Presiden SBY, yang lahir dan kecil di Pacitan, mungkin amat paham cerita nasi tiwul. Tetapi melihat postur badannya yang tinggi besar dan subur, kelihatannya SBY bukan bagian dari anak tiwul. Meski belum ada penelitian, biasanya generasi tiwul sulit memiliki badan yang subur.
Anak-anak generasi tiwul, selalu iri acapkali melihat putihnya nasi beras di piring tetangga. Bahasa Jawanya “ngiler”. Kalangan terpelajar, cerdik pandai, yang tak pernah miskin, barangkali melihat hal demikian sesuatu yang beradab. Maka telaah mendalamnya menukik, pada yang penting tercukupi gizi – meski rendah – dan tidak mati.
Orang pegunungan (misalnya Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, Wonogiri, Tulungagung, Nganjuk), untuk bisa membeli secangkir beras harus kerja kuli bangunan ke kota. Sebagian anak gadis dan ibu-ibu, juga merantau ke kota menjadi pembantu rumah tangga.
Anak-anak mereka riang bukang kepalang, acapkali orang tua atau kakak mereka pulang dari rantau. Kegembiraan ini amat beralasan, karena kepulangan mereka dalam beberapa hari akan mengubah hidangan di dapur. Yakni makan nasi beras.
Marli (39), seorang ketua RT di Trenggalek blak blakan mengakui, warga di desanya hingga hari ini masih mengkonsumsi tiwul. Menurutnya, pesta nasi beras hanya dapat ditemui dalam moment-moment pesta perkawinan dan hajatan. Tiwul pun, juga masih kerap kekurangan. Masalahnya, lahan pertanian untuk menanam singkong di Jawa kini makin sempit.
Karena jarang makan nasi beras ini, orang desa kadang kreatif. Sisa nasi yang tak dihabiskan, kerap dikeringkan oleh sebagian orang. Nasi sisa makanan orang yang sudah dikeringkan inilah, kemudian diberi nama “nasi aking”. Bahkan, sisa nasi tiwul juga dikeringkan. Kemudian dimasak tatkala cadangan gaplek (sigkong kering bahan baku tiwul) habis, sembari menunggu musim panen berikutnya.
Jika pemerintah melihat tiwul dan nasi aking ini hal biasa, sungguh sembrono. Jika bijak, kita bisa melihat lahan pertanian di Jawa, sebagaimana Marli bilang, makin sempit. Singkong tak sepenuhnya mampu menopang kebutuhan dasar mereka. Karena pada saat yang lain, singkong juga dijual untuk biaya sekolah dan kebutuhan dapur lainnya. Juga dijual, untuk membeli beras bagi anak-anak bayi, yang tak mungkin perutnya disumpal pakai tiwul.
Ini, realita kekinian yang perlu diselami hingga dasar. Mentan juga menulis: Andai masyarakat tidak mampu membeli beras dan tiwul sebagai pengganti, itu bagus karena dapat mengurangi permintaan terhadap beras dan melakukan diversifikasi ke bahan pangan lebih murah dengan gizi tidak terlalu inferior, apalagi jika dikombinasi bahan pangan yang bergizi tinggi seperti ikan dan sayuran.
Generasi tiwul, sulit beli ikan. Bahkan, sebagaimana warga pegunungan di Jawa Timur juga masih beli gaplek. Jika singkong yang mereka tanam dibelikan ikan sebagai lauk, ini kemewahan yang sulit dicapai sebagai rutinitas harian. Selain juga berisiko pada cadangan makanan pokok mereka.