Sunday, January 13, 2008

"Menunggu Godot" Keberpihakan


Di manapun ruang diskusi dan seminar digelar, kata yang berapi-api selalu berkobar hebat. Sebuah perubahan, seakan bisa diawali cepat, saat itu juga. Tiap patahan-patahan kata yang mencuat, isinya pasti keberpihakan pada yang lemah. Sekaligus kritik dan curahan kekesalan, pada penguasa yang hanya berpihak pada elit, asing, dan segelintir orang.

Demikian pula, nuansa di Medan Gagasan dan Prediksi Social Economic Outlook 2008, yang digelar Circle of Information and Development (CID), di Jakarta, Selasa (8/1). CID, sebuah lembaga kajian dan riset zakat, sosial, dan pemberdayaan yang dibentuk Dompet Dhuafa Republika (DD).

Para peserta dan pembicara menjadi geram, mengapa bangsa ini tak juga tegak hebat. Begitu lambatnya, negeri ini untuk menyejahterakan rakyat. Ironi pengelola negara makin menjadi. Ketulusan mengabdi pada rakyat dan bangsa, terus terkikis kepentingan pribadi.

Kekuasaan yang kini digenggam, sekadar melanggengkan service untuk elit dan segelintir orang. Mereka, akan bertaring dan menyeringai, tatkala kepentingannya diusik. Sebaliknya, “datar” dikala bicara tentang membela kepentingan rakyat dan negara. Bahkan, sebagaimana publik tahu, politik di Indonesia, telah menjadi area pasar gelap. Bukan lagi politik keberpihakan pada kaum lemah. Sebaliknya, kaum miskin dan marginal justru dagangan eklusif dalam pasar politik itu.

Setidaknya, demikian beberapa hal yang gayeng diperbincangkan dalam forum itu. Drajat Wibowo, seorang pengamat ekonomi dan anggota Komisi XI DPR RI, yang menjadi salah satu pembicara dalam medan gagasan itu, juga menegaskan, “Kemiskinan dan pengangguran sudah menjadi bagian dari political survival”. Dampaknya, waktu, dana, dan pikiran tersedot habis untuk urusan politik, tanpa ada kesempatan untuk melakukan pembangunan yang mendukung kesejahteraan rakyat.

Menurut Drajat, kemiskinan dan pengangguran telah menjadi ajang politik. Hal ini, bisa disetir melalui data Badan Pusat Statistik (BPS). Sebuah badan statistik yang belum ada pembanding di negeri ini. Sehingga, meski keakuratannya diragugan sebagian pihak, belum ada yang mampu menyangkalnya.

Sebuah rezim di negeri ini, dapat mengklaim kinerjanya berhasil berdasar data BPS. Pun, data kemiskinan juga dapat menjadi sarana menggarap proyek-proyek. Ironisnya, menurut Drajat Wibowo, Universitas-universitas ikut-ikutan membuat proyek kajian, penelitian, dan lain-lain yang hasilnya tak menyentuh persoalan dasar masyarakat miskin.

Dari sisi publikasi, media pun, sebenarnya mafhum data kemiskinan BPS tak akurat. Sebagaimana diakui Hanibal Widada Yudya Wijayanta, mantan wartawan TEMPO (kini wartawan di antv) yang menjadi salah satu moderator dalam medan gagasan itu, media tak punya data pembanding. Selain “terpaksa” menggunakan data kemiskinan versi BPS itu.

Banyak data dan fakta timbul, dalam ajang yang dihadiri berbagai elemen masyarakat ini. Mereka kebanyakan kalangan pekerja sosial dan aktivis kemanusiaan, yang hari-harinya, hidup dan bernafas dengan problematika kemiskinan. Wajar, jika seorang peserta menyentil keras.

“Ajang semacam ini sering diadakan. Semua bisa bicara dan mengkritik kebijakan-kebijakan yang tak berpihak. Kita semua juga sepakat dengan semua ini. Lalu apa yang bisa mulai kita lakukan sekarang?”, tanya seorang peserta nyaris putus asa.

“Kita harus merebutnya!”, celetuk yang lain berkelakar.

“Setelah direbut, dibagi-bagi lagi”, bisik peserta lain terkekeh, sayup-sayup dari belakang.

Perlu Nyali

Berbagai debat kemiskinan, memang tak ada habisnya. Tetapi juga sulit diwujudkan menjadi praktik, tanpa sebuah keberanian sikap para pemimpin negara. Sebagaimana Erie Sudewo, seorang Social Entrepreneur dan tokoh zakat Indonesia, menyengat dalam tulisannya.

“Mengentas satu keluarga miskin, zakat obatnya. Namun lenyapkan 1.000 keluarga miskin, itu kebijakan. Menggusur satu rumah, biadab. Menggusur 1.000 rumah, real estate hasilnya. Membunuh satu orang, kriminal. Membunuh 1.000 orang, politik”.

Maka, Erie Sudewo, memberi solusi sederhana. Yakni keberanian dan kebijakan untuk berpihak. Tanpa pemimpin yang berani, hujan ide dan gagasan tetap membentur dinding baja.

Tentang pemimpin yang berani dan berpihak, kita boleh “iri” mendambakan punya seorang Nestor Kirchner. Dia, mantan Presiden Argentina, periode 2003 – 2007. Ia presiden yang berani mengusir IMF dari negaranya. Kemudian, kebijakan itu diramal para ekonom Neoliberal yang menyatakan Argentina akan 'habis dan ambruk'. Bahkan, Argentina berani menolak pembayaran utang luar negeri, lebih dari US$100 miliar. Sampai menunggu rakyatnya sejahtera.

Hebatnya, dunia tahu, Argentina dapat tumbuh tanpa IMF dan tanpa investor asing. Kirchner yang memimpin Argentina saat itu, berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sampai 8% per tahun. Argentina dengan 40 juta jiwa penduduk, kini memiliki pendapatan domestik bruto (PDB) US$212 miliar dan pendapatan per kapita US$6.500.

Setelah, pemimpinnya menunjukkan nyali, pada akhirnya Argentina juga mampu membayar utang kepada IMF sebesar US$9,5 miliar. Argentina sebuah negara yang didominasi sektor pertanian. Sebaliknya, Indonesia didominasi segalanya. Pertanian, perikanan, minyak, gas, dan kekayaan perut bumi yang melimpah.

Terakhir, Indonesia juga hidup dalam apa yang diagung-agungkan saat ini, bernama demokrasi. Nyaris sempurna. Sayangnya, dengan modal selengkap ini, Indonesia yang luas dan besar, saat ini belum memiliki para pemimpin dengan nyali tangguh. Wajar jika sebagian rakyat kecil, masih penasaran dengan legenda satrio piningit dan ratu adil. Sebuah “harapan” yang menghibur rakyat di kala terbelit keputusasaan.

Memimpikan Indonesia yang maju dan mandiri, kita perlu mendoa lahirnya pemimpin pro rakyat yang bernyali. Karena pada realitanya, rakyat – diurus atau tidak oleh negara – mereka tetap hidup mandiri dan bergerak dinamis. Tugas negara, cukup mendukung dengan kebijakan yang berpihak dan membangun sarana infrastruktur untuk kepentingan rakyat. Sulitkah?

Kita tunggu babak berikutnya, kebijakan yang merebut hati rakyat, atau kebijakan yang menservice elit. Setelah semua kita mulai lelah menunggu godot, dalam bingkai judul lagu Jamrud, Pelangi di Matamu. Tigapuluh menit kita di sini, tanpa suara, dan aku resah harus menunggu lama…

No comments: