Monday, January 21, 2008

Mereka yang Bangkit dan Ditumbangkan


Konon, mantan Presiden Suharto salah satu makanan favoritnya tempe. Makin nikmat rasanya, jika tempe itu diolah lezat oleh Bu Tien, istrinya. Demikian pula, presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Juru Bicara Kepresidenan, Andi Malarangeng, SBY juga pecinta tempe dan tahu sejak dahulu.

Ironisnya, presiden dan mantan presiden itu, harus menghadapi kenyataan, tempe lenyap dalam beberapa hari di pasaran. Harga kedelai yang meroket menjadi pemicunya. Ketika, “bangsa tempe”, “mental tempe”, menjadi icon negatif yang melemahkan, rakyat bangsa ini nyatanya guncang, jika tak ada tempe dalam hidangan sehari-hari.

Dari selera, SBY ternyata juga punya cita rasa makanan rakyat. Lidahnya merakyat. Jika tak sekadar penikmat, mestinya Presiden amat paham masalah dasar kehidupan rakyat. Tinggal yang kurang barangkali, kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dan pro tempe.

Harga kedelai melambung, istana pun di demo. Pemerintah “panik”. Dengan sigap, pemerintah mengetuk palu dengan membebaskan bea masuk (BM) impor kedelai. Dari 10 persen menjadi nol persen, untuk beberapa waktu. Solusi instant ini, bisa jadi angin surga bagi para importir dan pengusaha kelas kakap, yang memproduksi produk dari bahan baku kedelai.

Dengan pembebasan BM ini, mestinya efektif menurunkan harga kedelai, tak hanya berpihak pada keuntungan importir semata. Pemerintah juga wajib menjaga transparansi harga. Jika di negara asalnya kenaikan harga kedelai 30 persen, mestinya demikian pula di dalam negeri.

Bagi para pembuat tahu dan tempe skala mikro, kenaikan harga disiasati dengan cara kreatif. Sebagian mereka, membuat produk tahu dan tempe dengan ukuran diperkecil. Harga tak banyak berubah, karena konsumen juga bagian yang tak mau dirugikan. Oleh pedagang kecil sekalipun. Meski pada saat yang sama, para konsumen juga secara sadar, kelompok yang kerap manut “dikerjai” bandrol harga di mall dan supermarket. Tapi untuk pedagang sayur keliling, kerap tega menawar hingga harga terendah.

Namun, juga ada sebagian yang terpaksa berhenti tak memproduksi tahu dan tempe. Seperti pembuat tahu dampingan Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa (MM – DD), di Kampung Iwul, Jampang, Bogor. Mereka sepekan sempat tak memproduksi tahu, lantaran harga kedelai dengan keuntungannya tak seimbang.

Meski sempat berhenti, beberapa hari lalu, penguatan komunitas dari pendamping MM, berhasil membangkitkan mereka untuk kembali memproduksi tahu. Mereka mencari akal untuk memperoleh margin untung – meski kecil – dengan cara berkelompok dalam produksi dan pengadaan kedelai.

Sudah menjadi bukti dalam ranah usaha di negeri ini. Para pengusaha mikro selalu berusaha survive di antara jepitan harga yang gonjang-ganjing, tanpa merugikan negara. Lantas keberpihakan seperti apa yang selanjutnya diberikan pemerintah pada mereka. Dari sekadar terus men-service elit dan kelompok pengusaha raksasa.

Selalu Tumbang

Jika, tak mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS), realitanya angka kemiskinan makin naik. Diperparah sejak kenaikan BBM setahun lalu. Ditimpali bencana alam yang beruntun, kelangkaan minyak tanah, dan kini yang hangat naiknya harga kedelai, minyak goreng, dan terigu.

Kasus Slamet, pedagang gorengan di Pandeglang yang bunuh diri beberapa hari lalu, mestinya masalah yang harus dipikirkan pemerintah secara serius. Jangan lantas gerah, jika kabar tak baik ini diangkat menjadi perbincangan publik.

Karena warga negara seperti Slamet, sejak dilahirkan telah mengurus kehidupannya sendiri tanpa membebani negara. Sekolah bayar, berobat bayar, buat KTP bayar, tak ada yang benar-benar gratis. Ketika punya usaha untuk menafkahi keluarga, usahanya tumbang. Tidak oleh dirinya, melainkan pemerintah terlibat dengan kebijakannya yang tak berpihak pada pedagang kecil seperti Slamet.

Ini kenyataan, jika pemangku negeri ini melihat masalah kemiskinan, sebagaimana Muhammad Yunus, pendiri Gramen Bank bilang, menggunakan mata cacing. Bukan meyakini 100 persen data BPS semata. Atau laporan para staf dan peneliti, yang kadang kurang mengakar ke ceruk kehidupan rakyat sesungguhnya.

Tak sedikit kasus, pengusaha mikro hancur karena kebijakan pemerintah. Dalam pengalaman Dompet Dhuafa Repulika (DD), hal semacam ini kerap terjadi. Maka tugas kemanusiaan lembaga sosial semacam DD, dalam turut membantu pemerintah mengurangi kemiskinan kerap tak nyambung. Tatkala kemandirian tertatih-tatih ditegakkan, kebijakan pemerintah selalu saja membuatnya tumbang.

Di Tangerang, seorang mustahik (orang miskin) bernama Udin, dengan bantuan dana zakat DD, mampu menjadi pengusaha konfeksi dengan 25 karyawan. Bertahan dua tahun. Sempat punya rumah dan mobil. Pada tahun ketiga, Udin bangkrut karena harga pasar rusak oleh kenaikan BBM. Kini ia menjadi mustahik lagi dan 25 karyawannya menjadi pengangguran.

Demikian pula tatkala DD melalui MM berjibaku membantu permodalan dan penguatan komunitas Tahu Iwul, hari ini juga dipaksa kedodoran. Harga dan produksi yang semula stabil sehingga mampu menopang kebutuhan dapur keluarga dan menyekolahkan anak, terkoyak oleh harga kedelai yang melambung. Ini juga andil pemerintah yang tak serius mengurus hal-hal kecil seperti ini. Pada kenyataannya, segigih apapun pemberdayaan masyarakat dhuafa dikuatkan, selalu saja jebol oleh kebijakan pemerintah yang lagi-lagi tak berpihak.

Dalam kondisi makin sulit begini, kata ”keberpihakan pada rakyat” adalah seruan yang harus terus dicuatkan dan diperjuangkan. Harapannya menjadi penyengat, bagi pengelola negeri ini. Agar negara yang demikian kaya, tak terus diurus dengan cara-cara bisnis. Sudah berlebih kiranya, pemodal dan elit, menyusu secara cuma-cuma dari sari pati bumi Indonesia. Kapan giliran rakyat mencicipinya.

No comments: