Tuesday, January 22, 2008

Takbir Terakhir

Dalam perjalanan mengemban tugas kemanusiaan. Saya mendapati banyak cerita mengharu biru. Duka lara, nestapa, hingga kenangan indah. Salah satu cerita dramatis dalam tragedi kemanusiaan di Indonesia, dapat pembaca baca dalam lakon tragis Nurlaila. Korban banjir Sinjai 2006, yang bercerita banyak dengan saya satu pekan pasca musibah.

Dalam sebuah muhasabah kemanusiaan yang dihadiri ratusan orang, kisah ini saya bacakan. Di luar dugaan, suara tangis peserta pecah malam itu. Berikut curhat Nurlaila, sore itu sembari duduk di bekas rumahnya yang tinggal menyisakan batu penyangga.

--------------------------------------------------------------

Saya Nurlaila, anak kedua dari 8 bersaudara. Sekolah di Aliah dan mondok di pesantren Darul Istiqomah, Sinjai, Sulawesi Selatan. Tapi menjelang naik kelas dua, saya diminta Mama pulang ke kampung halaman di Desa Biringere, untuk mengurus adik-adik. Karena ekonomi keluarga kami sulit, saya harus memilih antara tetap tinggal di pondok atau membantu Ibu yang sehari-hari mencari nafkah dengan menjahit. Ayah saya, seorang petani kecil yang menggarap lahan milik tetangga.

Sempat ada rasa sesal, meninggalkan bangku sekolah dan pesantren. Tapi, kini saya orang paling bersyukur atas keputusan pulang ke kampung membantu Ibu. Saat itu.

Hari itu, Minggu pagi, 18 Juni 2006. Tepatnya enam bulan sudah saya meninggalkan pesantren. Hujan rintik mengguyur desa kami yang berada tak jauh dari hulu sungai Sinjai. Desa Biringere berada pada dataran rendah, diapit bukit dan pegunungan, dengan hutannya yang tak lagi selebat lima tahun lalu.

Hujan makin lebat. Kami sekeluarga harus tetap berada di dalam rumah. Oh, iya, rumah kami terbuat dari rumah panggung dengan tinggi tiang hampir tiga meter. Kalau masuk dan keluar rumah, kami naik turun dengan tangga. Tidak seperti orang di Jawa ya.

Di dalam rumah kami yang mungil dan sederhana, hari itu kami tinggal berenam. Saya, Mama, Ayah, adik bayi yang baru dua bulan, adik saya yang umur dua tahun, adik saya nomor tujuh yang baru satu tahun, dan kakak pertama saya yang selama ini setia menemani dan membantu Mama.

Dia kakak yang hebat dan cantik. Banyak lelaki mau menikahinya, tapi kakak belum tega meninggalkan kami sekeluarga. Sementara, tiga adik saya yang lain, semua tinggal di pondok pesantren gratis. Milik seorang ustad dermawan di Sinjai.

Sampai pukul dua siang, hujan belum juga reda. Dari balik jendela kayu rumah yang rapuh, saya melongokkan kepala ke luar. Ternyata air sungai mulai meluap dan sudah menggenangi kira-kira satu meter rumah kami. Mesin jahit Mama yang selama ini menjadi sumber nafkah keluarga, sudah terendam. Saya sempat cemas, takut jika mesin itu rusak.

Tak lama kemudian hujan reda, air mulai surut. Kami sekeluarga mulai membersihkan sisa sampah dan Lumpur. Demikian juga warga desa yang lain. Huh! Lelah sekali! Kami baru selesai bersamaan dengan kumandang adzan Magrib dari speaker di surau dekat rumah.

Karena hujan dan tanah becek, saya tidak sholat jamaah di surau sebagaimana kebiasaan saya selama ini. Saya bersama ayah, mama dan kakak sholat magrib jamaah di rumah. Usai sholat, saya sempat membaca al-Quran. Saya lihat semua penghuni rumah sudah beranjak tidur. Adik saya yang masih kecil, meski tak ikut berlelah-lelah juga terlihat letih. Semua tidur dengan pulas. Tinggal saya sendiriian. Tak terasa mata saya juga mulai sayup. Lantas kami semua pulas selepas magrib sore itu.

Rasa letih, membuat tidur saya nyenyak sekali. Hingga tak sempat ada selintas mimpi yang singgah. Tiba-tiba, kami dikejutkan suara gaduh dan teriakan dari luar rumah. Kami bangun serentak mendengar ada apa di luar.

“Banjir! banjir! air naik! Semua warga siap-siap mengungsi ke tempat aman!”, suara yang tak henti-henti itu diiringi, sirine yang meraung-raung.

Ayah yang kaget, langsung beranjak membuka pintu rumah.

“Allahuakbar!”, seru ayah teriak.

“Air sudah di bawah lantai ma!. Ayo semua siap-siap!”, perintah ayah.

“Ayah! Bagaimana kita keluar. Mama harus lindungi bayi ini pakai apa?”, Mama cemas, sambil mendekap adik bayi.

Saya lihat, ayah juga bingung. Tidak ada sampan dan papan yang bisa kami buat menyeberang keluar rumah. Dengan gemetar, saya lihat rumah kami sudah dikepung banjir. Suara arusnya yang deras bergemuruh, membuat tiang rumah kami bergoyang-goyang. Malam itu, jam dinding di rumah menunjuk pukul 10.00 malam.

Sementara Mama dan ayah berdebat kecil, saya dan kakak bersiap-siap membawa barang yang bisa dibawa. Saya lihat kedua adik masih terlelap tidur. Air makin deras dan tinggi. Kratak! Dugh! Dugh!, suara sampah dan kayu menghantam tiang-tiang rumah panggung kami. Lahaulawalakuwata, saya terus berzdikir dalam hati. Harap dan cemas.

Ketegangan ini terus berlangsung sampai pukul 12 malam, seiring hujan reda. Tapi banjir makin menjadi. Saya terus lihat jarum jam, berharap gerakannya dipercepat agar segera datang siang. Tapi malam itu lama, panjang, dan menakutkan.

“Laila tahajut nak!” seru Mama menyuruh saya, sudah jam satu saat itu.

Saya berdiri menghadap kiblat dengan gemetar. Rukuh dan sujud tidak tenang. Rumah kami terus bergerak-gerak mulai bergeser.

“Ayo semua berdzikir! Baca Qur’an nak! Minta pada Allah kita diselamatkan” perintah Mama histeris. Sementara, ayah berjaga di depan pintu.

Dengan penerangan lampu tempel, saya coba buka Quran. Tangan saya gemetar, mulut saya berat. Beberapa kali Al Quran di tangan saya jatuh ke lantai yang dasarnya mulai basah. Sampai akhirnya, saya tak mampu memungut kembali Quran itu. Saya gendong dan peluk adik saya yang dua tahun. Sementara kakak memeluk yang umur satu tahun. Sedang Mama mendekap si bayi.

Kami kini merapat. Sudah jam 02.30. Saya, Mama, kakak, dan adik-adik berpelukan. Erat dan kuat. Air sudah membasahi kaki kami. Tiang setinggi tiga meter sudah tenggelam. Rumah kami bergeser sedikit demi sedikit.

“Mama, Laila, maafkan aku ya, kalau punya salah”, tiba-tiba keluar kata dari mulut kakak.

“Jangan bilang begitu nak. Kita pasti selamat”, hibur Mama membesarkan hati kami.

“Laila juga ya kak, Ma”, jawabku dengan tangis yang pecah malam itu. Saya lihat kakak, terus menciumi pipi mama. Kami hanya mampu menangis dan pasrah.

Air yang deras mulai terasa menyapu betis kami. Jam dinding yang bergoyang mengikuti gerak rumah, saya lihat 03.00 pagi.

“Allahuakbar! Allahuakbar!, Asahaduallaillahaillallah!…”, terdengar suara adzan dari rongga mulut ayah. Dia beradzan sambil berusaha melindungi kami. Ayah menyingkirkan batang-batang pohon yang mulai mengoyak dinding rumah. Beberapa batang bahkan sudah menembus masuk dinding rumah.

Tiba-tiba, suara ayah hilang, sunyi, dan tak terdengar lagi. Dia tak kuasa menahan amuk banjir dan hantaman kayu. Ayah jatuh terseret arus. Adzan terakhir yang terdengar tak mampu menyelamatkan dirinya dan kami. Adzan terakhir…

Tinggal kami yang masih bertahan berpelukan.

“Brush!” arus deras menghantam pertahanan kami.

“Kratak!” tiang rumah terdengar lepas.

“Allahukabar!” jerit kakak melengking. Tangan kami yang coba saling menggenggam terlepas. Dengan memeluk adik kakak terseret arus. Takbir terakhir yang saya dengar.

“Allahukabar!’ Mama juga berteriak. Tangan mama terlepas.

“Brush!” saya pun terbawa arus dalam gelap gulita. Dengan sekuat tenaga, saya peluk erat adik saya. Kami akhirnya terpencar entah kemana.

“Allahuakbar!” teriak saya tiap punya kesempatan timbul dari permukaan air. Saya terus bertahan meraih ranting dan pohon. Saya harus menyelamatkan adik. Itu yang membuat saya semangat bertahan. Hampir satu kilo meter saya terbawa arus. Tanpa sadar, badan saya tersangkut di akar bakau. Lengan saya masih kuat mendekap adik.

Sambil berpegangan, saya goyang-goyang kepala adik.

“Adik! Adik! Bangun sayang! Bangun!”.

Tapi dia diam. Badannya dingin. Saya lihat nafasnya tak ada suara.

“Ya Allah bangunkan adik saya”, saya sempat berteriak.

Adik tak juga gerak. Dia meninggal. Saya peluk dan ciumi dia. Saya peluk kuat dan erat, sampai pagi tiba dan para relawan menemukan saya dengan selamat.

Sembari tetap memeluk adik, saya dipapah menuju tenda pengungsian.

“Allahukabar! Mama!”, saya teriak histeris melihat Mama dan adik bayi selamat.

“Kakak mana Ma”, tanyaku lirih.

“Laila!” mama tak menjawab hanya memeluk saya. Kami menangis. Kakak ditemukan meninggal dalam posisi memeluk adik. Ternyata, ciuman kakak pada ku dan Mama ciuman terakhir. Takbir ayah juga takbir terakhir…

---------------------------------------------------------------

Tragedi banjir bandang yang memporak porandakan Sinjai, 18 – 19 Juni 2006 itu, telah merenggut tiga nyawa di keluarga Nurlaila. Rumahnya juga terbawa arus tinggal batu penyangga tiang ruamh saja yang tersisa. Semua peralatan jahit dan harta benda tak ada yang tersisa.

No comments: