Friday, February 29, 2008

Udang di Balik Pertamax

Oleh: Erie Sudewo

Empat tahun silam, dahi mulai berkerut saat Petronas bangun SPBU di Jakarta. SPBU Shell yang lebih dahulu hadir saja lengang. Sebab siapa rela beli bensin mahal. Tiap melongok, cuma satu dua mobil yang isi bensin. SPBU Shell terbaru di tol Jagorawi, pun tak kalah sepi. SPBU Petronas di jalan Ir. Juanda Ciputat atau di Cibubur, yang ramai tempat jajannya. Namun Petronas tetap ‘maju tak gentar’. Saat ini yang tengah dibangun, di antaranya di jalan Veteran Tanah Kusir Bintaro.


Ada udang, ada batu. Itu biasa. Ada udang di balik batu, itu juga biasa. Yang tak biasa, Shell buang-buang dollar, Petronas hambur-hambur ringgit. Pebisnis kecil, jauh-jauh hari pasti sudah KO. Bertahun-tahun cuma biayai, jelas tak sehat. Soalnya, mengapa tetap mentereng? Malah Petronas terus merangsek dengan kinclong warna hijaunya. Sedang Shell tetap menguas corporate color-nya yang merah kuning.

Misteri itu akhirnya tersibak juga. Awal 2008 pemerintah bertekad. Mulai Mei’08, Premium berangsur ditiadakan. Pemerintah katanya tekor terus. Subsidi BBM 2007 naik Rp 56 triliun. Tahun 2006 subsidi cuma Rp 46 triliunan. Total subsidi BBM 2007, jadi Rp 102 triliun.

Maka pemerintah harus rasional soal subsidi. Yang jadi soal, jika hendak lepas subsidi, mengapa Premium di-Pertamax-kan? Ini dua soal berbeda. Melepas subsidi, bukti pemerintah gagap. Bukan seolah, pemerintah benar-benar tak mau tanggung jawab. Lantas ubah Premium ke Pertamax, ini jelas bisnis. Usai digoreng, udang di balik batu memang gurih. Jika Premium dihabisi, yang termurah tinggal Pertamax. Siapa untung? Shell dan Petronas tepuk tangan. Sebab bensin yang mereka siapkan memang di kelas itu. Jika hingga sekarang mereka tak laku, ini cuma soal waktu. Investasi image perlu. SPBU mereka memang lebih keren tertata.

Ruaaar biasa. Ini strategi yang hanya bisa dilakukan pemain raksasa. Terutama lobby politiknya yang tak dimiliki sembarang pebisnis. Jika anda asing, anda bakal dapat full services dan privellege sana sini. Sayangnya kulit anda (maaf) ‘sawo busuk’. Jika ingin dapat segalanya, sehebat apapun anda tetap musti berkolaborasi dengan asing. Jika tak ada apa-apanya, mustahil non Pertamina bisa buka SPBU di tol Jagorawi. Jika bukan dengan politik, tak mungkin penambang-penambang asing begitu liar mereguk minyak Indonesia. Tetesannya yang tersisa seperti di Blok Cepu, itulah yang kini diperebutkan pemain lokal.

Soal ‘bisnis politik’, sejarawan Onghokham telah ingatkan. Dalam berdagang, lobby VOC selalu dibayang-bayangi meriam. Mahathir Muhammad juga tegaskan. Bahwa cara berdagang mereka berbeda dengan Asia. Mereka tak segan kerahkan segala cara dan sumber daya. Dalam merubah paradigma, mindset-nya telah ditanam dengan pendidikan. Untuk kuasai sumber daya, mereka invest utang sebanyak-banyaknya. Karena tak kuat bayar, konsensi pun dituntut. Maka ada pertanyaan usai krisis 1998. Mengapa bantuan untuk pemilu hibah, sedang untuk fakir miskin utang?

Dalam mengerat kekuatan negara, globalisasi diusung dengan pendekatan multinational corporate. Professional dan entrepreneurship, begitu biduk pemandunya. Kerjasama dengan asing tak salah. Asal bagi hasilnya adil. Franchaise pun tak bisa dicegah. Yang untung dan buntung pasti ada. Di sektor pemberdayaan, NGO telah lama mengakar. Dengan pendekatan kultural, capacity building tak lagi asing. Bahkan bagi pemulung sekalipun. Pencerahan memang telah terjadi. Tetapi berapa banyak yang mafhum hidden agenda-nya.

Dalam menguasai sumber daya, mereka yang asing memang harus bersiasah. Itu sah, lumrah dan wajar saja. Yang tak wajar, kita. Dalam pandangan awam, mengapa kita yang punya sumber daya tapi cuma dapat porsi kecil. Kita penuhi kebutuhan mereka, tapi tak peduli untuk rakyat sendiri. Jika ada Hugo Chavez atau Mahathir di Indonesia, episodenya mungkin lain. Namun apa yakin? Dengan carut marut peta politik kita, mungkin Hugo Chavez dan Mahathir pun tak jadi apa-apa di Indonesia. Keduanya pasti habis diakali dan dikhianati.

Sebagian pejabat dan politikus kita, punya kesamaan tabiat. Jabatan dan kedudukan adalang peluang. Tanggung jawab, no way-lah. Begitu asing masuk, ini jalan tol maksimalkan peluang. Maka set up-nya jauh-jauh hari. Yang sadar, undur diri seperti saat Indosat dibeli Temasek. Ini idealisme. Yang mendukung ada. Yang mencibir, mungkin lebih banyak lagi. Saat KPPU ketok palu, pro dan kontra meletup. Meneg BUMN tak sependapat. Sebagian karyawan juga protes atas keputusan KPPU. Ini jadi cermin. Problem kita tak satu bahasa. Antara tanah air dan ‘zona nyaman’, kini seperti air dan minyak. Jika anda ingin bela tanah air, siap-siaplah ditertawai. Katanya: ‘Hari gene masih ada Pahlawan Kesiangan’. Mau coba?

1 comment:

Fida Abbott said...

Halo Mas Sunaryo. Wah dpt kejutan nih dgn kunjungan dari Mas. Terima kasih banyak ya saya masih diingat teruuuuus.

Menanggapi postingan Mas Sunaryo kali ini. Memang kalau mau bekerja sama dg orang luar terutama dari barat itu harus pinter melebihi mereka. Bukan hanya pinter saja tetapi juga harus cerdik dan cakap serta berpikir jauh ke depan.

Semoga Indonesia akan muncul tunas-tunas baru yg selalu mengedepankan kepentingan bangsa, negara dan rakyat tentunya.

Salam dr PA,
Fida