Friday, April 11, 2008

Lonceng Kematian LAZ

Ssst, draft RUU Zakat pengganti UU 38/1999, sampai di tangan. Di era keterbukaan, menggagas diam-diam mematangkan misteri. Harusnya melegakan, tapi resah yang terpicu. Bola jelas bakal liar, yang implikasinya meluas. Kebijakan seolah cuma uji coba. Tak peduli pada tatanan yang telah terpola sebaik apapun. Gairah zakat berkat paduan strategi dan siasah selama ini porak poranda. Struktur yang terbentuk pun terjungkal sia-sia. Bingung, yang meretas kebingungan lain. Ketidakpastian, itulah kepastian yang dihadapi di tiap perubahan UU.


Enam Soal

RUU Zakat setidaknya punya delapan perkara. Tulisan ini merupakan satu dari delapan rencana tulisan berseri. Kini kita kupas pasal 7 ayat 2. Isinya: “Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah dikukuhkan di instansi pemerintah dan swasta diubah statusnya menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari Badan Amil Zakat (BAZ) setempat”.

Ada enam masalah berkait dengan pasal ini. Pertama nasib LAZ memang tak pernah dihargai. Pasalnya jelas. Karena LAZ seperti DD Republika, RZI, PKPU, BM Hidayatullah dan DPU DT merupakan produk masyarakat. Bukan ingin mendahului kehendak Allah SWT. Tapi tanpa LAZ, dunia zakat di Indonesia tak bakal marak. LAZ terbukti menginspirasi lahirnya tiga hal penting. Pertama UU 38 tentang Pengelolaan Zakat disahkan tahun 1999. Kedua LAZ membuahkan hasil terbentuknya sub-direktorat zakat di Depag. Dan ketiga, tanpa LAZ mustahil BAZNAS ada.

Tapi pameo ’air susu dibalas dengan air tuba’, bukan tanpa makna. LAZ sang inspirator, justru sedang dikubur oleh lembaga yang lahir berkat LAZ. Sementara beberapa negara luar yang telah kirim dutanya – seperti Tanzania tahun 2002 – amat tertarik dengan LAZ sebagai satu role model. PPZ (Pusat Pungutan Zakat) Malaysia, bahkan juga jajaki aliansi twin sister dengan DD Republika.

Di 2002 itu juga, Indonesia masuk dalam 59 negara gagal yang dibahas World Economic Forum dan Universitas Harvard. Ciri negara gagal, di antaranya angka kriminal dan kekerasan tinggi; korupsi meraja lela; miskinnya opini publik; serta tingginya suasana ketidakpastian (Meuthia Ganie-Rochman, Kompas, 4 Jan’08). Kontradikitf: di sisi pengelolaan zakat, LAZ jadi role model. Di penyelenggaraan negara, Indonesia masuk dalam contoh studi pembangunan negara gagal.

Soal kedua alih-alih asset, di mata pemerintah, LAZ adalah pesaing. Aroma ini sudah tersedak di UU 38/1999. Begitu semangatnya, hingga arsitek UU 38/1999 gagal sembunyikan ketersinggungannya karena zakat dikelola masyarakat. Padahal konsep negara modern, menuntun pemerintah tak perlu berlelah-lelah kerjakan serba sendiri. Lebih-lebih kemiskinan yang 120 juta orang (World Bank), harusnya mentawadhukan pemerintah lebih rendah hati. Syukur-syukur bisa melafal hamdallah karena hadirnya LAZ. Apalagi sebagai negara gagal, mestinya pegiat zakat dihadiahi medali. Lho, malah diancam.

Dan justru itulah soal ketiga, kreatifitas bottom up dicoba diberangus. Padahal dalam konteks negara gagal, kreatifitas jadi penghela untuk lepas dari keterpurukan. Bottom up jelas bukti konkrit masyarakat yang tak pernah bisa diam. Lantas bukankah kreatifitas bottom up LAZ, hasilkan pengelolaan zakat ala Indonesia. Khasanah pengelolaan zakat dunia diperkaya. Konteks zakat, hanya bisa dikuak muamalahnya dengan kreatifitas. Gaya top down Orde Baru, ternyata masih kuat melekat. Maka kemandegan, itulah tanda-tanda dunia zakat Indonesia ke depan.

Keempat, karena dunia zakat mandeg, motivasi pun tergerus. Kebijakan ini menambah contoh, ihtiar selalu disumbat. Apakah karena pemerintah, kebijakan mematikan pun otomatis dianggap maruf? Demotivasi pegiat zakat, bakal terpicu hebat. Begitu RUU disahkan, dunia zakat Indonesia pasti ditinggal orang-orang terbaiknya. Kebijakan yang ‘mengganggu’ ini, berpotensi gagalkan tujuan kebijakan itu sendiri.

Kelima, atas nama agama, kebajikan zakat yang telah nyata dicerabut. Di balik kebajikan, itulah kepercayaan. Namun karena dianggap benda mati, kepercayaan seolah mudah saja dialihkan pada lembaga bentukan pemerintah. BAZ-nya tak salah. Kredibilitas pemerintah yang jadi soal. Berbeda dengan calhaj yang terpaksa ‘mau’ diatur karena no choice. Bagi sebagian muzaki, gaya top down jadi problem. Begitu RUU disahkan, itulah aba-aba: Memilih salurkan langsung ke masyarakat, tetap ke LAZ meski diberangus atau turuti kehendak RUU.

Maka keenam, siapa bakal ambil alih tanggung jawab dan biaya kegiatan yang telah berjalan di masyarakat? Negara bukan hanya terbukti gagal lindungi, rakyat miskin malah terus bertambah. Sedang LAZ yang coba membantu, justru hendak dipunahkan. Dibantu malah tersinggung.

Tanggalkan Baju Zakat
RUU Zakat, agaknya kebijakan ketersinggungan. Gegabahnya menikam banyak pihak. Masyarakat pun digiring apatis. Mudahkah gapai tujuan yang dipandu nalar ego? Set back dan demotivasi. Begitu kekagetan banyak pihak menyimak RUU Zakat. Siapa yang tak geleng kepala, kreatifitas zakat yang telah terpola direngut. Atas nama agama pula, buah-buah kebajikan dicabuti.

Dengan RUU Zakat, ada yang terbahak, ada pula yang masghul. Sedikit yang mau tahu, namun banyak sekali yang tak peduli. Yang diam dianggap ‘sopan’. Yang aktif mengadvokasi dianggap sakit hati. Sambil mengamati ketidakpastian, harapan tinggal di DPR. Cermatkah DPR deteksi klausul tak produktif. Jika tidak, LAZ jelas tanggalkan ‘baju zakat’ untuk beralih ke LSM. Sebab Depsos yang ‘sekuler’ terbukti malah lebih bijak. Tak terbersit jadikan LSM dan NGO sebagai UPS (Unit Pegiat Sosial). Sementara muzaki yang masih ingin salurkan zakat, tetap bisa dilayani oleh LSM dengan nafas baru ini.erie sudewo

1 comment:

Anonymous said...

YAH INILAH "LAGI" SATU PRODUK BENTUKAN MAFIA UUD....NGGA BISA LIAT DUIT "BERGULIR" PADA TEMPATNYA....