Friday, April 04, 2008

Mengabdi dengan Kedhuafaan

Badannya perlahan bongkok. Usia yang merambat dan tempaan hidup, membuat Saminan (53) tak gagah lagi. Tapi semangatnya tetap kokoh, bergeming menahan gempuran kehidupan. Enam anak telah dibesarkan oleh cucuran keringatnya. Dua di antaranya, telah berkeluarga meneruskan trah Saminan. Empat lainnya, masih dalam tanggungannya. Berkumpul di dalam bilik berdinding gedhek yang sederhana.


Pada 1975 – 1984, Saminan pernah mencicipi angkuhnya Jakarta. Kurun sembilan tahun, ia menyusuri gang dan kompleks, menjajakan minyak tanah di bilangan Tanjung Priok. Meski telapak kakinya makin kebal, oleh jilatan aspal jalan yang mendidih, kehidupan Saminan tak jua berubah.

Gerobak minyak tanah itupun ditinggalkan. Ia beralih menjajal keperkasaan tangannya, dengan jadi kuli bangunan. Kala itu, Ibukota sedang giat memancangkan gedung gedung pencakar langit. Permukiman elit juga subur menjamur. Selama tenaga kuat, cari kerja bangunan tak sulit ketika itu. Meski Saminan kini tak tahu, pembangunan di Jakarta kian mati suri. Jalan jalan berlobang, gedung gedung yang dulu ikut dibangunnya, juga termakan uzur, seperti tubuhnya yang makin ringkih.

Saminan, akhirnya pulang kampung. Bersama Ratih (50), istri tercintanya, ia memutuskan damai tinggal di Kampung Kolengan, Jasinga, Bogor. Pengalaman merajut hidup di Jakarta, membakar api semangat Saminan, untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ia paham, tanpa pengetahuan, hidup akan terus sulit. Jika anak-anaknya, tak dibekali ilmu, Saminan sadar penderitaannya akan diwarisi anak cucu. Tapi keinginan yang meledak ledak itu, pecah di rongga dadanya yang mulai rapuh.

Menopang mimpi tinggi, dengan pondasi jualan Cilok, sungguh berat. Tapi Saminan, tetap teguh memikul gerobak Cilok itu. Ia susuri jalan jalan kampung, berhenti di keramaian, dan mampir di sekolah sekolah. Berangkat pukul tujuh pagi, ia akan kembali menjelang Magrib. Malam hari, Ratih menyiapkan Cilok untuk esok harinya. Jika Saminan nglokro, Muhidin – anak ketiga Saminan yang sekolah di SMP PGRI Kolengan – menggantikan pekerjaan Sang Ayah.

Tatkala Saminan jualan, Ratih, pergi mencari kayu bakar. Keluarga Saminan, memang tak berdaya menggunakan kompor, apalagi gas elpiji. Sejak dulu, keluarga itu penikmat tungku. Keuntungan Cilok Saminan, tak lebih dari Rp 15 ribu per hari. Ratih, dengan teliti membagi untuk biaya sekolah empat anaknya dan kebutuhan sehari-hari. Tatkala bahan Cilok (terigu dan minyak goreng) mahal, Saminan dan Ratih ingin menjerit. Tapi ketidakberdayaan itu, pahit ditelan sendiri.

Jika boleh berangan, Saminan ingin punya usaha toko sebenarnya. Meski ia belum paham, bahwa usaha inipun rawan bangkrut. “Kahayang abdi mah teu jualan Cilok terus, tapi hayang ngawarung supaya bisa ngabiayaan sakola anak sing luhur, jeung bisa nyukupan kabutuhan keluarga”, harapnya. (Ingin saya itu tidak hanya jualan Cilok terus, tapi ingin membuka toko, supaya bisa membiayai anak sekolah yang tinggi dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga).

Dalam keterbatasannya, Saminan orang hebat di kampungnya. Saat tidak ada orang mau menjadi ketua RT, Saminan didapuk warga mengurus mereka. Jabatan sosial itupun, dilakoni Saminan selama 20 tahun. Tanpa cacat. Budi pekerti dan ketulusan Saminan telah memikat hati warganya.

Sore pekan lalu, Saminan mangkal di SMP PGRI Kolengan, salah satu tempatnya jualan. Ia pandangi panflet dan sepanduk calon bupati Bogor dan calon gubernur Jawa Barat yang menyebar tak jauh dari situ. Segudang janji dengan puja pujinya, berderet dan berlomba tentang kesejahteraan rakyat. Saminan hanya mesem. Mungkin dalam hati kecilnya berbisik.

“Dengan kemiskinan, sudah 20 tahun saya mengabdi tanpa gaji”.

No comments: