Friday, April 04, 2008

Optimisme Hapet

Di mana optimisme itu terselip? Dalam relung sanubari pemerintah dan elit? Terbingkai dalam pikiran jernih, cerdik pandai? Terserak di tengah gemuruh kampanye partai politik? Atau, terendap dalam janji para Balon (bakal calon)? Entahlah. Optimisme memang misteri. Ia kata yang mudah kita cuap cuapkan. Tapi sulit dilihat serpihan wujudnya.




“Satejena oreng kodu optimis gadebbi kabedeen odi’ samangken”, (dalam menjalani hidup ini harus optimis) terang Hapet. Ia tukang becak di terminal bus Situbondo, Jawa Timur. Sudah 30 tahun profesi itu ia jalani. Melebihi separo dari hidupnya, kini menginjak umur 54 tahun.

Wujud optimisme itu, beru
saha ia buktikan dengan setia pada pekerjaannya. Kulit Hapet mulai kering keriput, tapi badannya yang kurus masih tampak sehat. Matanya cekung. Nafasnya kadang tersengal. Tapi ia enggan berhenti, menghisap lintingan tembakau.

“Beden kaule koat tak nedde asalkan aroko”, (saya kuat tidak makan asal merokok) akunya, dengan logat Madura murni.

Rokok, bagi Hapet dan kebanyakan pekerja kasar, pil ampuh menahan lapar. Jika dituruti, godaan perut bisa mem
buat bangkrut. Pulang ke rumah bisa tidak membawa uang. Maka, asap rokok menjadi penyumbat rasa lapar itu. Rokok yang mereka hisap, buatan sendiri, dari tembakau yang dilinting dengan kelobot (kulit jagung).

Entah darimana Hapet tahu, ungkapan optimisme itu. Membaca ia tak pandai, televisi juga tak punya. Mungkin, ia mendengar celetukan penumpang bus antar kota, yang riuh saban hari di terminal. Bisa juga mendengar dari penumpangnya.

Tak peduli dari mana, ayah lima anak itu dapat optimisme. Tapi sejak ia kali pertama mengayuh becak, itu optimisme
nya untuk melanjutkan hidup. Meski sampai kini, rumahnya masih bertulang ori (jenis bambu) dan dinding gedhek yang mulai lapuk, Hapet merasa hidup harus optimis.

Optimisme, membakar Hapet tak ciut oleh luapan sungai Sampean yang arusnya deras. Di musim penghujan, tidak ada jalan lebih dekat menuju kota, selain menyeberangi sungai itu. Tiap pagi, Hapet menenteng sebatang bambu untuk menyeberang.

Bambu itu, ia gunakan menopang badannya agar tak tenggelam. Dari pinggir awal men
yeberang, ia akan berusaha mengapung dan membiarkan dirinya terseret arus, hingga 200 meter untuk sampai di pinggirnya. Sementara tangan kanannya memeluk bambu, tangan kiri menjulang ke langit, menahan pakaian yang dibungkus plastik agar tak basah.

Selama musim penghujan, Hapet selalu menempuh jalan yang dekat dengan maut itu. Sebaliknya, tukang becak yang lain di desanya, memilih bertahan di rumah. Mereka baru akan menyeberang, jika air sungai surut dengan sampan penyeberangan. Tapi Hapet tak mungkin diam, hanya oleh rintangan alam itu. Keluarganya perlu makan.

Dengan optimisme dan ketangguhan sekuat itu, berapa rupiah uang yang dibawa pulang Hapet. Jumlahnya tak lebih dari Rp 20 ribu. Bahkan, sejak banjir sepeda motor, penghasilannya kini paling bagus Rp 15 ribu. Itupun hanya pada hari hari tertentu. Seperti liburan, lebaran, dan perayaan Maulid. Penumpang yang sepi, ditumbur harga kebutuhan pokok yang terus naik, membuat hidup tukang becak tak terperi. Tapi Hapet bergeming, harus tetap optimis.

Pikiran sederhananya, ia berusaha tak menyerah oleh kehidupan yang sulit. Kalau Hapet ingin hidupnya lebih baik, mungkin harus pindah pekerjaan. Namun, di senja usianya, Hapet hanya punya sepasang kaki untuk mengayuh pedal dan becak, yang besi besinya mulai karatan.
Hapet juga mustahil ber
saing, dengan sarjana yang kini sulit mencari kerja. Mau berdagang – kalau toh ada modal – nyaris tak ada lapak aman dari gusuran trantib. Sekali waktu, Hapet berangan tinggi, tapi optimismenya mentok di sadel becak.

Di masyarakat kecil kita, banyak yang punya ketangguhan semacam Hapet. Temui mereka di desa desa, trotoar, pasar, gang gang sempit, dan jalanan. Betapa kreatif masyarakat negeri ini. Mereka lihai menyiasati hidup, meski silih berganti bangkit dan limbung. Penggusuran pedagang yang mengusir mereka dengan bengis, tak membuat menyerah. Esok, datang menggelar dagangan lagi.

Menyelami detak jantung kehidupan masyarakat kecil, kita merinding melihat betapa optimisnya mereka mengurus diri sendiri. Mereka optimis, dalam serba keterbatasannya. Tidak saling ganggu, apalagi rusuh. Kecuali ada segelintir kecil yang memanfaatkan keluguannya. Menyulut api, atas nama demokrasi.

Optimisme Hapet, mestinya membuat bangsa ini maju dan agung.
Tinggal bagaimana nahkoda bangsa ini, membuktikan optimisme kebangsaannya. Tentu bukan optimisme dalam irisan idealisme dan pragmatisme. Jika itu yang dimaknai, pemimpin negeri ini kalah dengan optimisme Hapet, si tukang becak.

Pun, optimisme Hapet bening. Ia mengingatkan, kita harus optimis dalam hidup, dengan cara mencari rezeki yang halal. Wejangan yang kelihatannya berat, dijalankan pengelola negeri ini. Karena
acap bicara optimisme, kerap dari balik jubah korupsi dan manipulasi.

Dalam ketidakpastian ini, kita sepakat harus menghidupkan optimisme. Lantas, bagaimana ia bisa membumi dari sekadar kata kata? Jika mau dengan cara melankolis, mungkin dapat memetik optimisme cinta Maria, dalam film Ayat Ayat Cinta. Betapa optimisme cintanya, dalam merebut hati Fahry mengagumkan. Hingga Presiden SBY, mengaku menangis usai menonton film itu.

Sebaliknya, jika optimisme bangsa ini seperti Hapet, yang keluar bukan air mata. Melainkan kerja keras dan peluh bercucur.

2 comments:

Fida Abbott said...

Hallo Mas, terima kasih atas sharingnya. Ngomong-ngomong sudah ikutan ngisi petisi? Kunjungi Blogku ya. Terima kasih sebelumnya atas supportnya.

Salam dari PA.

Anonymous said...

Subhanallah. Menggugah dan membangkitkan nurani...