Beras mahal. Rp 5.200,- per kilogram. Kalangan ibu rumah tangga kelas menengah bawah dibuat resah. Sebelumnya mereka dibuat panik lantaran minyak tanah langka di pasaran. Kini kepala mereka pusing tujuh keliling, mengutak-atik uang belanja. Di kitaran Jakarta obrolan keluh kesah beras mahal cukup mudah ditemui. Garuk-garuk kepala, satu-satunya jalan melepaskan gelisah.
Di Cimanggis, Depok, tetangga kontrakan sempat berantem dengan suaminya. “Beras mahal pak. Anak-anak belum bayar sekolah, kontrakan bulan ini juga belum bayar!” teriaknya keras. Sang suami yang bekerja sebagai pengojek tak menanggapi. Ketimbang ribut, Kang Tarjo ngeloyor pergi mencari penumpang.
Tak lama berselang, istri Kang Tarjo makin meradang. Sumpah serapah keluar memaki ketidakadilan. Syukur, di puncak marahnya wanita tiga anak itu tidak mengumpat Tuhannya. “Tahu begini gak mau saya milih presiden. Mana pula janji-janji partai yang mau menyejahterakan rakyat. Giliran begini, mana mereka peduli”, gerutunya terus mengomel.
Di pesisir Losari, beras mahal masih disiasahi dengan nasi aking. Nasi bekas yang dikeringkan. Masalah rasa, jangan tanya. Bagi yang tak terbiasa akan dibuat muntah. Tahu asal muasalnya nasi itu saja kita akan bergidik. Tetapi apalah artinya rasa. Bagi orang miskin perut kenyang sudah lebih dari cukup. Rasa dan lauk pauk urusan kesekian.
Nasi berwarna kekuning-kuningan itu baunya agak apek. Lidah saya pernah menikmati tatkala tahun 1980-an paceklik merajam kelurga saya di Jawa Timur. Nasi itu masih mahal nilainya ketimbang nasi tiwul dari gaplek kering. Asalnya yang dari beras, meski telah jadi nasi bekas seperti punya tingkatan gengsi tersendiri. Malu jika mengingatnya. Seorang teman pernah menyela tatkala saya berbagi cerita.
“Makan nasi aking kok bangga”, katanya berkelakar.
“Ketimbang tiwul lebih keren dikit kan? Masih ada bau berasnya”, timpal saya membesarkan hati.
Saya masih ingat. Nasi aking di kampung saya tidak hanya dari nasi beras bekas. Nasi tiwul yang tak habis dimakan daripada basi juga dikeringkan menjadi karak. Itu akan dimasak saat musim kemarau tiba dimana singkong tak dapat tumbuh.
Hampir 20 tahun keperihan itu berlalu. Saya kira hanya di kampung saya yang pelosok nasi aking hadir. Ternyata hingga 2006 ini, nasi aking masih populer di pinggiran Ibukota. Sebagian orang malah bilang, “Hari gini masih ada nasi aking?”.
Jika kita luangkan waktu menyeruak masuk ke kantong-kantong kemiskinan, kisah nasi aking hanya sebagian kecil dari warna kemiskinan kita. Masih beraneka rupa keruwetan hidup komunitas lirih yang belum kita selami. Maka, jangan jauh-jauh bicara gizi dan standar hidup bersih di komunitas miskin. Ngomongi persoalan isi perut esok hari saja tak jua usai.
Apalagi harga beras yang hari ini mengerikan. Menambah polemik hidup makin rumit. Alasan jelang hari raya dan tahun baru kerap dijadikan pembenaran untuk mendongkrak harga-harga sembako. Saat pemerintah heboh operasi pasar, saya dan Kang Tarjo sembari rehat di serambi kontrakan hanya mesem kecut.
“Bukan operasi pasar yang penting kali mas. Tapi bagi orang seperti saya perlu operasi perut agar tidak punya rasa lapar. Kayak cerita astronot yang cuma menelan pil itu lho. Mereka bisa hidup berbulan-bulan. Sudah capek rasanya hidup ini berputar sebatas perut melulu?” sindir Kang Tarjo putus asa.
Amat sederhana memang tawaran solusi Kang Tarjo yang membuat kita nyengir. Bicara operasi pasar, tiap tahun rasanya persoalan ini laten berulang. Padahal pepatah bilang, alah bisa karena biasa. Anehnya tetap bolot tak bisa-bisa. Padahal pemerintah memiliki lumbung beras yang dicadangkan oleh Bulog. Mestinya kenaikan harga beras sudah diantisipasi sejak jauh hari.
Sekarang jelas saja terlambat. Keadaan sudah dipenuhi oleh para spekulan yang ingin mengeruk keuntungan. Belum lagi prediksi beberapa pihak bahwa ada oknum pemerintah yang memang dengan sengaja mempermainkan keadaan demi kepentingan tertentu. Tetap saja komunitas lirih menjadi tumbal dari semua ini. Maka, jangan kaget jika hari gini nasi aking masih dinikmati. Read More......