Monday, February 26, 2007

Balada Kuli Sindang


Dari ribuan relawan yang terlibat aksi membantu korban banjir tahun ini, ada yang kelewat kesebut. Mereka para kuli sindang yang kerap melintas di jalan-jalan dan perumahan-perumahan. Dengan memikul pengki, pacul, dan sabit, kuli sindang siap menawarkan jasa membersihkan rumput dan pekarangan rumah. Berjalan berkilo-kilo meter tak kenal lelah, membiarkan badan dibakar terik matahari. Kuli sindang tetap melenggang.

Mereka biasanya datang dari Cirebon, Brebes, Banyumas, dan daerah Jawa Barat. Dengan berbekal tenaga kasar kuli sindang mengadu nasib di Ibukota. Pikirannya sederhana, di Jakarta pasti jarang orang mau bekerja kasar. Untuk mencabut rumput pun pasti membutuhkan kuli. Tetapi angan tak selalu manis, di Jakarta mencari orang yang perlu tenaga kasar ternyata juga sulit.

Selama di Jakarta kuli sindang biasanya tinggal berkelompok. Seperti komunitas kuli sindang asal Brebes yang menempati bedeng di pinggir Kalimalang Bekasi. Dengan tempat berteduh seadanya mereka bertahan untuk menjajakan tenaganya. Karena tidak setiap hari jasanya dipakai orang, kuli sindang harus bisa hidup hemat. Jika sehari dapat Rp 50 ribu, belum tentu tiga hari berikutnya segera dapat obyekan.

Sempitnya lapangan pekerjaan di kampung halaman menjadi salah satu pendorong mereka menekuni profesi ini. Sodikin, kuli sindang dari Cirebon ini misalnya, saat musim paceklik tidak ada pekerjaan lain kecuali harus merantau. Tetapi dengan hanya modal tenaga, tak banyak yang mampu dikerjakan di kota. Kecuali menjadi kuli kasar.

Namun di musim penghujan begini, mencari kerja juga sulit. Terlebih saat harga beras naik, kesulitan sudah pasti makin menghimpit. Anak dan istri tanpa harus dibayangkan, sudah memanggil sayup-sayup. Seperti yang dirasakan Kisno, kuli sindang dari desa Wlahar, Banyumas. Wajah istrinya yang panik cari pinjaman beras sudah melekat di pelupuk mata.

Tak hanya Kisno dan Sodikin yang punya cerita getir. Wartam, kuli sindang asal desa Pananggapan, Brebes juga punya epos yang sama. Merantau tak tetap di kota membuat nasib mereka makin tidak jelas. Kalau ada bantuan raskin atau bantuan lainnya mereka hanya dapat melihat dari jauh. Bukan karena tidak berhak, tetapi mereka bukan penduduk setempat. Hanya numpang sementara.

Bulan ini, di saat obyekan sepi, Kisno dan Wartam ikut bergabung jadi relawan membantu korban banjir. Bersama 100 kuli sindang lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Jateng dan Jabar mereka ikut program cash for work. Dengan perlengkapannya, para kuli sindang itu bekerja keras membersihkan lumpur, puing-puing, dan sampah bekas banjir.

“Kalau di kampung gotong royong seperti ini sudah biasa mas. Tapi kalau di kota seperti ini, kayaknya gotong royong itu aneh ya. Orang pada sibuk ngurusi dirinya masing-masing”, kata Wartam yang sudah tiga hari jadi relawan.

Setelah program relawan ini selesai, Wartam dan kuli sindang lainnya ingin segera nengok anak istri di kampung. Kabar kenaikan harga beras membuat pikiran mereka gelisah. Apalagi, hujan lebat di kampung juga merusak sebagian tanaman yang mereka tanam sebelum berangkat ke Jakarta. Padahal tujuan merantau sementara ke kota untuk mengisi sela sampai musim panen nanti tiba.

“Saat begini, yang jadi pikiran makannya anak istri. Di kampung uang belanja lima ribu itu sudah cukup, lha sekarang beras seliter harganya lima ribu lebih. Nggak bisa tidur saya kalau malam mas, anak-anak kebayang terus”, ungkap Sahroni berkaca-kaca. Gelisah di benak kuli sindang toh tak mengusik gelisah tidur mereka yang terus berbuat dhalim.

1 comment:

Fida Abbott said...

Mas Sunaryo,

Salam kenal balik ya. Trims banget sudah berkunjung ke Blog-ku. Saya senang baca artikel-artikel Mas ini, pilu rasanya. Tiap hari juga saya ikutin berita online di Jawa Pos mengenai perkembangan negara kita. OK, selamat berjuang untuk menyuarakan suara orang kecil ya.

Selamat beraktifitas,
Fida