Monday, August 27, 2007

Kebo Dungu


Tukang bubur keliling di bilangan pasar Minggu, Rabu pagi lalu, tiba-tiba menjadikan kelangkaan minyak tanah sebagai sarana marketing. “Bubur! Bubur! Ayo makan bubur saja, tidak ada minyak. Yang tak bisa masak ayo semua makan bubur!”

Sekilas, Pak Min, penjual bubur itu seperti sedang bercanda. Tetapi lama-kelamaan, sepanjang jalan yang melintas di gang kontrakan padat di Sebret Dalam Pasar Minggu, suaranya terus meneriakkan penawaran itu. Mendengarnya, ingin mulut terbahak. Tapi malu, karena ucapan Pak Min benar adanya. Sudah dua minggu lebih, di kampung sebret dalam saja, minyak tanah lenyap. Belum daerah lain khususnya di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Di Sebret Dalam, sudah beberapa pagi tak ada nasi uduk. Banyak pedagang gorengan juga tak jualan. Belum lagi pedagang makanan kecil lainnya. Di kampung Pulo Kecil, Sukawijaya, Bekasi, sebagian besar masyarakat malah sudah sebulan masak menggunakan dedak (kulit biji padi).

Jika tak kepepet orang jarang mau masak pakai dedak. Masalahnya, nyalanya redup dan perlu waktu cukup lama untuk mematangkan masakan. Di sebagian desa di Jawa, biasanya dedak dibakar di kandang sapi untuk menghangatkan sapi dan mengusir nyamuk.

Di sengaja dan tidak, realita orang terbelit minyak tanah ikut memeriahkan pesta kemerdekaan Bangsa Indonesia ke-62. Sebuah usia yang makin tua, namun tetap susah karena ditingkahi kenakalan anak cucunya yang gemar korup dan bertengkar rebutan bangkai saudara sendiri.

Antrian minyak tanah yang mengular, mirip jalan pakai bangkiak panjang saat lomba Agustusan. Tapi bangkiak dari besi baja, yang berat untuk diangkat, apalagi diayunkan ke depan. Karena tak kuat mengangkat, wajah mereka meringis dan peluhnya bercucuran. Anehnya, wajah-wajah menyedihkan ini, ada yang menggemarinya sebagai tontonan. Orang kesusahan dianggap lucu, tak jarang ada yang tertawa terpingkal-pingkal.

Minyak tanah, bagi warga miskin sudah urat nadi. Maka, sebagian kalangan memandang, minyak tanah sebagai simbol kemiskinan. Lantas, agar simbol itu hilang minyak tanah dilenyapkan dari area jantung Ibukota. Para inisiator yang menelorkan pelenyapan minyak tanah ini, tentu sudah menghitung dengan cerdas dan detail. Hanya, yang terlewat, mereka sangat kelihatan bukan orang yang paham kemiskinan. Akibatnya, keputusan ini bukan membantu pemerintah mengurangi kemiskinan, malah menambah dendam sosial yang makin menggunung. Pemerintah, makin dicap sebagai pihak yang tambah terang-terangan tidak berpihak pada rakyat kecil.

Mengganti minyak tanah dengan gas, diyakini pemerintah nilainya lebih hemat. Tapi pemerintah lupa, apakah membeli gas bisa dengan eceran seperti membeli minyak tanah satu liter. Membeli sesuai dengan lembar rupiah kumal, yang terselip di saku lusuh keluarga miskin. Pemerintah jadi seperti memaksakan standar hidup keluarga miskin, untuk mengejar standar hidup orang kaya. Ini sungguh tidak manusiawi.

Terus Berkorban

Kapan sebenarnya pemerintah ini mau berpihak pada rakyat kecil. Mengapa juga gemar melihat orang hidup sengsara, sementara sebagian lain gemar pamer kekayaan. Kurang apa lagi, pengorbanan rakyat kecil di negeri ini untuk bangsanya?

Kemana juga para wakil rakyat itu, di tengah keperihan para konstituennya yang sedang butuh teman mengadu. Parlemen seperti adem ayem, melihat rakyat kelabakan. Tiap yang menyentuh esensi dasar hidup rakyat, anggota dewan kerap membisu. Pura-pura sibuk dan tak mau tahu. Sebaliknya, jika menyangkut urusan dapur pribadi, gigihnya luar biasa. Bahkan, untuk perkara selingkuh, parlemen amat cekatan menyikapinya.

Wajar, jika Wibisono, pedagang nasi goreng di bilangan Mampang Prapatan meradang hebat.

“Apa maunya pemerintah ini! Saya perasaan tidak pernah merepotkan negara, kok malah hidup saya diacak-acak. Ditindas terus menerus, punya wakil rakyat juga loro untu kabeh (sakit gigi semua), tak ada yang becus. Rakyat kecil diproyekin terus”, umpat bapak tiga anak asal Jawa Timur yang sudah seminggu tidak jualan itu.

Menurut Wibisono, rakyat kecil selama ini sudah sabar narimo. Tetapi, makin hari ketenangan hidup rakyat kecil terus diobok-obok. Ia mengibaratkan, selama ini rakyat kecil ibarat kebo (kerbau).

Wong cilik seperti saya ini tidak ada bedanya sama kebo (kerbau). Dikasih rumput dimakan, tidak dikasih ya diam saja. Habis mau apa lagi, wong kondisi ekonomi sulit seperti ini. Arep gae ontran-ontran mundak nambah sengsoro (mau membuat ribut malah bikin sengsara)” kata Wibisono kesal.

“Tapi mas, kalo kebonya itu dipecuti (dicambuk) terus-terusan tidak dikasih makan, sing angon (gembalanya) seperti drakula. Tapi jangan kuatir, itu jika sing angon sudah benar-benar mau mbeleh (menyembelih), baru resolusi (revolusi maksudnya)”, sindirnya.

Wibisono, ingin suaranya didengar pemerintah dan wakil rakyat. Pesan yang disampaikan itu sarat makna. Rakyat kecil, hingga titik nadir masih memilih hidup damai, ketimbang revolusi. Tetapi, pejabat juga jangan menjadi “kebo dungu”. Saat rakyat kesulitan, makan tetap kenyang dan tidur nyenyak.

Bukankah Indonesia baru dikuliahi Muhamad Yunus. Peraih nobel dan perintis Grameen Bank, yang sukses memberdayakan masyarakat bawah Bangladesh. Muhammad Yunus sebagai milyarder memilih hidup sederhana, dan memperlakukan hartanya lebih banyak untuk beramal.

Demikian juga Nabi Muhammad saw. Sambil menolak kasur empuk pemberian seorang wanita Anshar, Nabi Muhammad berkata pada istrinya, ‘’Duhai Aisyah, demi Allah, jika aku mau pasti Allah akan menghidangkan kemewahan dunia. Semua itu telah disediakan Allah, tapi aku tidak mau.’’

Sampai meninggalnya, Nabi Muhammad Saw masih menggadaikan baju besinya pada seorang Yahudi. Tapi, bukan berarti beliau tidak kaya semasa hayatnya. Beliau mendapat penghasilan besar dari rampasan perang. Sering juga Nabi menerima hadiah dari umat yang sangat mencintainya. Tapi hampir semuanya Rasulullah infakkan.

Kini, tatkala dapur-dapur rakyat kecil sulit ngebul, pengorbanan apa yang akan diberikan pemimpin di negeri ini. Sekali lagi, jangan melulu rakyat kecil berkorban habis-habisan. Bangunlah, jangan nyenyak jadi kebo dungu.

3 comments:

stefanus akim, said...

Selamat menuanikan ibadah puasa mas Sunaryo...

PUMITA said...

maaf mas belum sempat ijin copy pastenya...tapi bolehkah say me link blog sampean??

sunaryo adhiatmoko said...

boleh, semoga bermanfaat