Tuesday, December 19, 2006

Siapa Percaya Kita Miskin

Di ajang seminar, diskusi, isi berita, sampai gelar demonstrasi, sepertinya telah sepakat, Indonesia sedang krisis. Indonesia tengah sulit. Terlebih saat bahan bakar minyak melonjak, jumlah orang miskin tambah meruyak. Tetapi siapa percaya? Semua mal di seluruh kota Indonesia tiap akhir pekan berjubel manusia. Bergerak padat bak robot, memuaskan diri berbelanja. Dari wajah-wajahnya tak tersirat muka susah apalagi miskin.

Suguhan paradoks lain cukup mudah menohok mata. Mobil mewah keluaran anyar dengan angka miliaran rupiah seliweran di jalan-jalan. Tak hanya di Jakarta. Di beberapa kota besar Indonesia, kendaraan kaum the haves itu cukup gampang ditemui. Begitu subur ajang pamer “kaya” ini di Indonesia. Tak ada aturan yang menata untuk menjaga keirian sebagian lain yang tak berdaya. Selama tidak merugikan, semua bebas menggelar isi gudang rumahnya kalau perlu. Tentang perasaan itu, sepakat berdalih hak azasi manusia.

Bandingkan dengan Kualalumpur yang lebih tertib, aman, nyaman, dan kaya ketimbang Jakarta. Jumlah mobil mewah dapat dihitung. Masyarakat Malaysia cenderung bersahaja. Cukup nyaman dengan mengendarai mobil Protonnya. Kalau toh ada merk Mobil Eropa, dari pengemudinya dapat diketahui bukan warga asli Malaysia. Itupun dipastikan ia orang yang benar-benar kaya, pengusaha, bukan pegawai pemerintahan. Cara nyetirnya juga tidak plintat plintut, karena dibeli bukan dari hasil korupsi.

Belajar bersahaja ini, Kota Helsinki, Finlandia, memberi teladan prilaku hidup. Dengan pendapatan per kapita Finlandia 28.500 dollar AS, menjadi salah satu yang terbaik di dunia, penduduknya tak silap apalagi gagap. “Kami tidak suka hidup berlebihan,” kata Hans Markele, usahawan di Helsinki. Menurutnya, warga Finlandia terbiasa tidak banyak kebutuhan. Terbiasa dalam semangat hidup sederhana. Punya satu mobil dan dua sepeda, ya sudah cukup. Tidak perlu sampai memiliki 10 mobil sebab yang dipakai cuma satu (Kompas, 20/5).

Tentang semangat hidup, geliat warga Shenzhen, China, memberi inspirasi lain. Meski penduduknya tak semakmur provinsi tetangganya, Hongkong, tetapi gerak kebangkitan seakan terus berkobar. Di surga para penggila belanja ini, sejak pukul 06.00 pagi sampai 22.00, semua manusia bergerak mencari nafkah. Pusat kota menyemut oleh orang-orang yang berdagang, menjual jasa tato, sampai pendorong gerobak. Tak ada orang berleha-leha, meski ongkos buruh di sana relatif rendah. Satu nilai yang dapat dipetik dari mereka adalah pertunjukan semangat dan gaya hidup bersahaja. Meski kaum mudanya teramat bebas dan urakan, tetap pada batas kemampuan mengukur diri.

Tak heran, jika seorang majikan TKW Indonesia di Macau, kota otonom China, terbelalak melihat foto rumah pembantunya yang diimpor dari Indonesia. “Kamu kaya ya, rumahmu besar, punya halaman, rumahku ini tak ada apa-apanya. Berarti negaramu kaya, kenapa kamu mau diekspor jadi pembantu di tempatku?” TKW yang sudah empat tahun di Macau inipun diam. Padahal rumah megah itu hasil dari gajinya, bukan atas peran negaranya. Setidaknya saat ia didamprat majikan masih punya harga diri. “Rumahku lebih megah ketimbang apartemenmu yang sumpek ini.”

Kesadaran Bersama

Maka siapa yang percaya Indonesia sedang miskin? Jika saja seluruh elemen bangsa tak berlaku timpang, mungkin bisa sepakat meninggal ketertinggalan. Bukan mengejar ketertinggalan. Demi nasionalisme untuk kebangkitan nasional, katanya. Dengan sadar diri bangsa sedang miskin, semua rakyat dapat menakar diri. Instropeksi dan mengkonsumsi berdasarkan kebutuhan, bukan melulu kesenangan. Prilaku hidup bersahaja seperti rutinitas warga tiga Negara di atas layak dijiplak. Negara punya tanggung jawab meneladani gaya hidup itu.

Saatnya, pemerintah merubah pola pikir rakyatnya melalui akses informasi dan komunikasi. Pemerintah semestinya merangkul seluruh elemen jaringan media massa cetak dan elektronik, untuk menyampaikan visi bangsa. Merangkul bukan berarti menginterfensi dan mengekang kebebasan informasi. Tetapi mengajak kerjasama untuk komunikasi membangun bangsa yang sedang terpuruk. Seperti yang dilontarkan pemimpin LKBN Antara, Asro Kamal Rokan, “Kritiklah pemerintah dengan memberi solusi”.

Tayangan hedonis dalam lakon sinetron-sinetron semu sudah saatnya diarahkan, agar sutradaranya menghasilkan karya-karya yang mengobarkan visi bangsa. Bukan sekenario yang menjual mimpi, meraih kaya dengan jalan pintas. Dari ngaji setan sampai menghalalkan segala cara agar cepat terbebas dari kemiskinan. Diakui atau tidak, tayangan yang menghujam ke relung hati rakyat melalui televisi ini, besar pengaruhnya dalam merubah pola hidup masyarakat. Pemerintah musti mencubit rakyatnya agar bangun untuk tidak jadi bangsa pemimpi.

Jika tidak berdaya merubah tatanan hidup rakyat – dengan cara mengarahkan informasi dan komunikasi agar tersaji mendidik – lantas apa fungsi pemerintahan dalam sebuah Negara? Ironis jika pemerintah kalah oleh sutradara penjual mimpi dan klenik. Perubahan sosial di masyarakat pada akhirnya ditentukan oleh seorang sutradara. Kita malu, bagaimana orang Malaysia mengapresiasi Indonesia atas asumsi kehidupan di lakon sinetron. “Orang Indonesia kaya-kaya”, kata Azzira, wanita asal Kualalumpur penggemar sinetron Indonesia.

Padahal bicara kaya, masyarakat Ibu Kota masih sebagian besar memakai kompor minyak tanah. Dan sebentar lagi minyak tanah akan lenyap dari wajah Jakarta, berganti elpiji. Semoga kebijakan itu bukan atas asumsi tak ada lagi orang miskin di jantung kota. Tugas negara mengkomunikasikan kebijakan semacam ini ke lapisan bawah. Dibarengi aksi nyata dengan memberikan tabung gas secara cuma-cuma misalnya. Agar tak ada protes dan anarki.

Pemerintah melalui Jubir-jubirnya di setiap departemen, perlu melakukan penetrasi komunikasi kebijakan ke tingkat akar rumput. Jika visi bangsa itu ada, harus kembali dikumandangkan. Rakyat diteladani kesehajaan agar ketimpangan tidak jomplang. Dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, perlu saling menjaga rasa agar tak ada cemburu dan dendam sosial.

Saatnya kita sepakat untuk lari meninggalkan kemiskinan. Bukan pamer kemiskinan dengan unjuk kemewahan bagi yang mampu, dan tampil kusam bagi yang miskin. Itu jika masih ada yang merasa, bahwa kita memang sedang miskin. Tulisan ini pernah dimuat di Filantropi, REPUBLIKA, Jumat (25/5/06)